Dr. H. Muhamad Rakhmat, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)
A. Pendahuluan
Menurut konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka tanah sebagaimana halnya dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Untuk mengelola secara berdaya guna dan berhasil guna, maka tanah begitu juga bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Tujuan yang dikehendaki oleh UUPA adalah untuk memberikan kepada masyarakat/rakyat adanya hak atas tanah dimana dengan hak dimaksud ia mendapatkan suatu kepastian hukum dan kelayakan hidup. Kondisi yang demikian adalah menginginkan agar setiap orang dapat menikmati haknya secara aman dan cukup dirasakan adil (Abdurrahman, 1978:33).
Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun demikian perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawanya dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri (Utsman, 2008:3-4). Perubahan sangat mendasar, kita harus tegakkan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan satu standar aliran positivism tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komunitas hukum modern, mutakhir dan yang mendunia.
B. Sejarah Singkat Hukum Agraria
Dalam pengertian yang paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplesit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Ada dua sisi dalam konsep hukum sebagai interaksi : pertama, adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku. Kedua, sisi yang bersifat normatif; sentiment akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum (Urger, 2008:63).
Istilah hukum agraria terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan agraria. Sesuai dengan pengertian sebagai pegangan dari hukum, maka yang dimaksud hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria (Mertokusumo dan Suyitno, 1988:1).
Hukum agraria sebagai hasil perpaduan dari perkembangan Hukum Perdata dan Hukum Tata Pemerintahan dapat dipandang sebagai satu kelompok hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam, berupa lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit dengan sumber-sumber alam. Di Negara Indonesia mendapat perhatian yang cukup luas dari kalangan ahli hukum terutama sekali dalam rangka memfungsikan pemanfaatan sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya guna kepentingan pembangunan.
Hukum agraria yang berlaku di Negara Indonesia adalah berpokok pangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Undang-Undang ini merupakan suatu produk legislatif nasional yang pertama yang merupakan landasan bagi pengaturan soal-soal keagrariaan.
Dasar dari pada Hukum Agraria nasional adalah Hukum Adat. Hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur bersandar pada hukum agama.Tetapi hukum adat yang berlaku menurut UUPA adalah hukum adat yang sudah disaneer (artinya bukan seluruh hukum adat yang ada dan berlaku ketika UUPA itu diundangkan) dan juga tidak bertendensi menantang azas unifikasi (Mahfud, 2001: 347).
Ini menandakan bahwa UUPA berkarakter responsif sebab hukum yang memiliki muatan hukum adat dapat dilihat sebagai hukum yang responsif. UUPA lahir justru pada saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Menurut Mahfud (2001: 348), ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang reponsif ini : pertama, materi UUPA itu sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk pada tahun 1948. Kedua, materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka, Ketiga, materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA. Keempat, hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hukum publik dan bidang hukum privat.
Notonagoro dalam Iman Soetiknjo (1990:16-18), menegaskan bahwa bagi Politik Agraria Nasional sebaiknya mendasarkan diri atas sifat manusia sebagai dwitunggal yaitu sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam hukum agraria, ada hubungan langsung antara Negara dan tanah dengan menggunakan sistem hak privat dan kolektif bersama-sama.
Lebih lanjut Notonagoro merumuskan pedoman bagi hukum agraria berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, dalam arti tidak dapat dihilangkan oleh siapapun.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memungkinkan didapatnya pedoman bahwa hubungan manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat privat dan kolektif sebagai dwitunggal.
Sila Persatuan Indonesia, dapat dirumuskan pedoman bahwa orang Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia. Dengan menghubungkan sila ini dengan sila kemanusiaan Yang Adil dan Beradap yang mempunyai unsur mahkluk sosial yang bersifat internasional, maka orang asingpun dapat diberi kekuasaan atas tanah di Indonesia, sejauh itu dibutuhkan dan tidak merugikan orang Indonesia. Jadi, pemberian tanah pada orang asing itu menurut kepentingan Negara dan bangsa Indonesia.
Menurut Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dapat diambil pedoman bahwa tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kekuasaan sama atas tanah.
Berdasarkan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan untuk menerima bagian dari manfaat tanah menurut kepentingan hak hidupnya bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
C. Pengertian Penyuluhan Hukum Agraria
Pada masyarakat di wilayah rawan konflik, penyuluhan hukum agraria mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam berbagai literatur, istilah penyuluhan diartikan sebagai counseling and guidance. Dalam dunia pendidikan penyuluhan, penyuluhan diartikan sebagai suatu usaha para pendidik untuk membantu siswa mengatasi berbagai kesulitan di sekolah atau di luar sekolah. Di bidang pertanian, Totok Mardikanto (1996:48), mendefinisikan penyuluhan sebagai suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, menaikkan pendapatan dan keuntungan, serta perubahan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri :
Pertama, penyuluhan adalah sistem pendidikan luar sekolah atau di luar sistem sekolah yang : terencana dan terprogram; dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (“learning by doing”); tidak terikat waktu, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya; disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dan pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik.
Kedua, penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, sehingga: metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding pendidikan yang sifatnya vertikal atau menggurui; keberhasilannya tidak ditentukan oleh jumlah materi/ informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dan peserta didik; sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun dewasa dalam arti psikologis).
Bertitik tolak dari pengertian penyuluhan tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa setiap kegiatan penyuluhan harus memenuhi unsur-unsur : penyuluhan merupakan suatu proses yang berkesinambungan (continuoes process) dan penyuluhan dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi dan membantu orang lain agar dapat mengatasi kesulitan.
Terdapat 3 komponen pokok di dalam proses penyuluhan hukum agrarian, yakni : penyuluhan dan sasarannya, informasi hukum dan caranya (alat/media). Berhasil tidaknya suatu program penyuluhan hukum senantiasa tergantung pada keserasian antara ketiga kompenen tersebut (Sorjono Soekanto, 1986 : 83)
Selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh petugas penyuluh yang telah mempunyai pengetahuan, pengalaman, keahlian serta ketrampilan di bidang agraria. Dengan demikian, hanya petugas penyuluh yang memenuhi kualifikasi tertentu yang dapat ditunjuk dan diangkat sebagai penyuluh.
Sorjono Soekanto (1986 : 83-84) menegaskan bahwa seorang penyuluh hukum harus mampu “mulut sarira” atau “mawas diri”, hal mana didasarkan pada sikap tindak yang didasarkan pada iktiar hidup logis, etis dan estetis.
Menurut Totok Mardikanto (2003;163-165), untuk menjadi penyuluh yang professional, harus memahami : Pertama, filosofi penyuluhan, untuk mendidik masyarakat/petani agar mampu membantu dirinya sendiri dalam rangka perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Kedua, etika penyuluhan, untuk selalu jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras dengan keuletan dan kesabaran. Ketiga, profesi penyuluh yang menuntut kualifikasi : (a) terampil menjalin hubungan baik dengan masyarakat penerima manfaat serta mampu menjelaskan materi dan tujuan kegiatannya. (b) memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang materi penyuluhan, (c) bersikap positif tentang materi yang disampaikan, mengasihi dan mencintai masyarakatnya, serta menyukai dan bangga akan profesinya. (d) mau memahami keadaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya, (e) memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai penyuluh, (f) mampu megorganisasikan masyarakat dan sumber daya yang ada, (g) selalu berusaha melakukan pengkajian untuk: memahami masalah yang dihadapi masyarakatnya, menentukan titik-titik pusat kegiatan, mencari alternatif pemecahan masalah dan memilih cara pemecahan masalah yang tepat.
Sesuai uraian diatas, pengertian penyuluhan di bidang hukum agraria perlu dirumuskan agar untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan kerja bagi satuan organisasi penyuluhan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Penulis mendefinisikan penyuluhan hukum agraria adalah suatu sistem penyampaian informasi, konsultasi dan bimbingan masalah pertanahan secara berkesinambungan kepada masyarakat luas untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran hukum, dan kemauan anggota masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
D. Tujuan Penyuluhan Hukum Agraria
Beberapa perundang-undangan di Indonesia, telah mencantumkan suatu perumusan mengenai tujuan dari penyuluhan hukum. Perumusan tujuan tersebut antara lain di dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06 – UM. 06. 02 Tahun 1983 dan nomor M. 10 – UM. 06. 02 Tahun 1983, yakni : 1) menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan; 2) membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 73).
Seperti diuraikan diatas, kegiatan penyuluhan hukum agraria merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional, mengingat konflik tentang pertanahan sekarang dan di masa depan semakin banyak intensitasnya dan semakin kompleks permasalahannya. Tujuan dilakukan penyuluhan hukum agraria adalah untuk menciptakan tata kelola administrasi pertanahan yang baik (Good Land Governance).
Berbagai konflik agraria yang terjadi di masa lalu, Mustain (2005: 416-417), dalam penelitian petani di Kalibakar Malang, menemukan bahwa aksi reclaiming oleh petani Kalibakar atas tanah yang dikuasai PTPN XII sesungguhnya terjadi dalam konteks problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan terjadinya cultural conflict. Hasil studi ini memperkuat dugaan bahwa konflik antara rakyat petani dan PTPN XII bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas tanah dengan justifikasi claim yang di dasarkan pada dasar logika hukum masing-masing pihak, hukum negara yang positivistik, legal formal, prosedural dan hukum rakyat yang lokal dan non formal.
Studi yang dilakukan oleh Ipong S Azhar (1999:181-182), sengketa tanah HGU antara para petani dengan PTP XXVII di Kecamatan Rambipuji, Jenggawah, dan Mumbulsari, Kabupaten Jember yang akhirnya melahirkan gerakan radikal petani dalam rangka mempertahankan tanah-tanah HGU, berakar pada tidak tercapainya kompromi dalam proses tawar menawar yang dilakukan. PTP XXVII tetap bertahan dengan kehendaknya untuk mempertahankan penguasaan tanah HGU, sedangkan petani tetap berkehendak agar tanah tersebut dikembalikan kepada mereka dengan dikukuhkan di depan hukum melalui pemberian sertifikat hak milik.
Para petani tetap bertahan pada pendirian bahwa tanah HGU bekas hak erfpacht itu merupakan hak milik mereka. Tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka yang diperolehnya dari babat alas (membuka hutan). Sedangkan PTP XXVII menganggap bahwa yang berhak memiliki tanah adalah pihaknya karena didasarkan pada pelaksanaan nasionalisasi yang disahkan oleh undang-undang. Karena kedua belah pihak tetap bertahan dengan pendapat dan kehendaknya masing-masing, maka terjadinya konflik terbuka antara para petani dengan PTP XXVII yang dibantu oleh aparat keamanan menjadi tidak terelakan lagi.
Keadaan yang demikian itu sudah tentu akan mengakibatkan menurunnya citra Badan Pertanahan Nasional sebagai institusi yang mengelola hak kepemilikan tanah, sehingga penyuluhan hukum agraria pada masyarakat rawan konflik menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Penyuluhan hukum agraria harus memberi kesan positif di kalangan masyarakat dan bahwa penyuluhan hukum agraria merupakan perwujudan dari pengabdian masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasional.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa tujuan penyuluhan hukum agraria adalah untuk : (a) meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya kejelasan hak kepemilikan tanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara tentang agraria, (c) meningkatkan kemauan masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara yang taat pada hukum, (d) mendorong keikutsertaan lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan agar turut serta mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria, (e) memperbaiki dan memelihara citra institusi pemerintah terkait, menuju terciptanya Good land Governance.
E. Sasaran Penyuluhan Hukum Agraria
Salah satu prinsip yang dipakai UUPA adalah fungsi sosial yang dilekatkan pada hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menegaskan “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dapat diartikan sebagai penyangkalan terhadap hak subyektif yang sepenuh-penuhnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh leon Duguit “tidak ada hak subyektif (subyektif recht), yang ada hanya fungsi sosial.” Menurut Parlindungan (dalam Mahfud, 2001:186), prinsip fungsi sosial diangkat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dengan prinsip tersebut maka hak milik tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan umum, dan untuk itu pemerintah dapat melakukan intervensi. Menurut penjelasan pasal 6 UUPA, seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang berakibat merugikan kepentingan masyarakat.
Penetapan prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial mempunyai arti bahwa hukum agraria Indonesia mengambil jalan kompromi antara dua ekstrem paham, yaitu individualism dan komunalisme atau antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama. Dengan kata lain UUPA, sesuai dengan Pancasila, mengambil jalan yang seimbang antara keduanya atau menjadikan keduanya sebagai dwitunggal.
Konskuensi dari prinsip fungsi sosial ini adalah jika ada tanah yang terlantar maka hak atas tanah tersebut kembali kepada “hak menguasai dari negara”. Selain itu, juga berkonskuensi bagi kewenangan negara untuk menentukan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan hak milik, serta mencabut hak atas tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang (Mahfud, 2001:186-187).
Sasaran penyuluhan hukum agraria adalah penerima manfaat atau beneficiaries pembangunan agraria, yang terdiri dari individu atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam urusan agraria yang terlibat secara lansung atau tidak langsung dalam kegiatan pembangunan agraria. Termasuk sasaran/penerima manfaat pembangunan agraria adalah masyarakat sekitar perkebunan, masyarakat sekitar hutan, masyarakat sekitar sabuk hijau dan masyarakat lainnya yang terlibat baik langsung atau tidak dalam konflik agraria.
Dikeluhkan oleh Totok Mardikanto (1996 : 68), bahwa pada umumnya kegiatan penyuluhan hanya diarahkan kepada kelompok warga masyarakat lapisan bawah atau kelompok akar rumput (grass root), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tercapainya tujuan pembangunan justru tidak hanya ditentukan oleh perubahan perilaku dan/ atau partisipasi kelompok masyarakat lapisan bawah yang menjadi pelaku utama pembangunan namun seringkali ditentukan dan didukung oleh keputusan dan/atau kegiatan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Berpijak dari hal tersebut, maka penyuluhan hukum agraria tidak saja ditujukan pada masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi aparat penegak hukum, aparat pejabat terkait dengan agraria serta lembaga-lembaga non pemerintah juga menjadi sasaran penyuluhan hukum agraria ini.
Apabila kita cermati, setiap pembangunan merupakan suatu proses. Membangun tidak mungkin tanpa tanah, sebaliknya penggunaan tanah tidak mungkin kalau tidak ada pembangunan baik oleh pemerintah maupun perorangan. Disamping itu penduduk selalu bertambah sementara luas tanah tetap, kondisi tersebut menjadikan tanah menjadi suatu barang yang semakin bernilai tinggi.
Sejalan dengan itu, kebutuhan tanah untuk kepentingan umum semakin tinggi sementara semakin langkanya tanah-tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Konsekuensi logis, negara mengambil tanah-tanah penduduk untuk memenuhi kepentingan umum tersebut.
Pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum tersebut tidak terlepas dari konflik-konflik yang selalu menyertainya. Keberadaan penyuluhan hukum agraria di sini adalah untuk menghindari konflik yang terjadi sebagai akibat pembebasan-pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum.
F. Urgensi Penyuluhan Hukum Agraria
Urgensi tentang bagaimana negara melakukan penyuluhan hukum agraria sangat penting dilakukan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang sarat dengan konflik pertanahan. Bahkan jumlah sengketa tanah tersebut cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk itulah diperlukan upaya nyata dan sungguh-sungguh dalam penyelesaian kasus atau sengketa tanah yang telah ada selama ini.
Sengketa agraria di Indonesia telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah maupun bobot sengketanya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus) (Setiawan, 2009).
Di wilayah pedesaan, arena konflik tersebut umumnya di dorong oleh kondisi topografi dan potensi alam yang ada. Di wilayah-wilayah pertanian dataran tinggi yang berorientasi pada sistem pertanian komersial dengan produk tanaman keras sedangkan di dataran rendah adanya areal perkebunan komoditi ekspor.
Hasil penelitian Mittal (2004: 122-123), di India setiap tahunnya lebih dari dua juta petani gurem dan marginal kehilangan tanah atau terasing dan tercerabut dari tanah mereka sendiri. Hal ini disebabkan lahan tanaman pangan milik mereka diambil alih oleh elit penguasa korporasi-korporasi global. Lahan tersebut kemudian digunakan untuk memproduksi berbagai tanaman yang memiliki daya jual di pasaran.
Sedangkan di wilayah perkotaan, konflik pertanahan lebih di dominasi oleh penataan tata ruang dan begitu kuatnya peran kapitalisme global terhadap pengelolaan tanah. Misalnya : studi yang ditulis oleh Sudharto P. Hadi (2006:120-123), yakni Kasus Rencana Tapak Pertunjukkan Sinar dan Suara (Multi Media Show) di Borobudur, dimana disitu terjadi tarik ulur antar berbagai kelompok kepentingan terkait peruntukkan tanah. Setidaknya ada empat kelompok kepentingan terkait dengan rencana pembangunan tersebut, yakni pihak perusahaan pengelola, pemerintah daerah, Direktorat Linbinjarah dan masyarakat sekitar candi Borobudur.
Kasus lain dipaparkan oleh Salman Drajat (2006), yang terjadi di Meruya, Kepemilikan dokumen ganda dapat terjadi ketika penerbitan girik atau sertifikat tidak konsisten dengan UUPA. Peraturan hukum itu mensyaratkan adanya sertifikat tanah dalam setiap transaksi jual beli tanah. Girik tidak dapat dijadikan bukti jual beli tanah karena merupakan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Namun banyak girik atau surat garapan tanah dijadikan alat bukti kepemilikan yang sah. Akibatnya timbul masalah, seperti pada kasus Meruya Selatan. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa. Tetapi buktinya ribuan warga yang kini mendiami lokasi tersebut, mereka bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah, diantaranya berupa sertifikat.
Dengan demikian urgensi penyuluhan hukum sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat perubahan begitu cepat dan tuntutan kebutuhan penduduk untuk kepentingan publik semakin kompleks yang sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas dari konflik peruntukkan tanah.
G. Penutup
Untuk menuju terciptanya Good Land Governance, maka penyuluhan hukum agraria di laksanakan di seluruh Indonesia berdasarkan pedoman kerja yang dituangkan dalam buku panduan, antara lain : (a) Pola Dasar Penyuluhan Hukum Agraria, (b) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Panjang dan (c) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Pendek.
Keberhasilan pelaksanaan penyuluhan hukum agraria tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Oleh karena itu penyuluhan hukum agraria dengan strategi yang meliputi : (a) komitmen politis, yaitu keterlibatan dan keterikatan lembaga-lembaga resmi pemerintah baik departemen maupun non departemen ataupun badan untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria, (b) komitmen masyarakat dan atau lembaga masyarakat, baik secara perorangan atau kelompok untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)
A. Pendahuluan
Menurut konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka tanah sebagaimana halnya dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Untuk mengelola secara berdaya guna dan berhasil guna, maka tanah begitu juga bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Tujuan yang dikehendaki oleh UUPA adalah untuk memberikan kepada masyarakat/rakyat adanya hak atas tanah dimana dengan hak dimaksud ia mendapatkan suatu kepastian hukum dan kelayakan hidup. Kondisi yang demikian adalah menginginkan agar setiap orang dapat menikmati haknya secara aman dan cukup dirasakan adil (Abdurrahman, 1978:33).
Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun demikian perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawanya dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri (Utsman, 2008:3-4). Perubahan sangat mendasar, kita harus tegakkan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan satu standar aliran positivism tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komunitas hukum modern, mutakhir dan yang mendunia.
B. Sejarah Singkat Hukum Agraria
Dalam pengertian yang paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplesit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Ada dua sisi dalam konsep hukum sebagai interaksi : pertama, adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku. Kedua, sisi yang bersifat normatif; sentiment akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum (Urger, 2008:63).
Istilah hukum agraria terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan agraria. Sesuai dengan pengertian sebagai pegangan dari hukum, maka yang dimaksud hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria (Mertokusumo dan Suyitno, 1988:1).
Hukum agraria sebagai hasil perpaduan dari perkembangan Hukum Perdata dan Hukum Tata Pemerintahan dapat dipandang sebagai satu kelompok hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam, berupa lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit dengan sumber-sumber alam. Di Negara Indonesia mendapat perhatian yang cukup luas dari kalangan ahli hukum terutama sekali dalam rangka memfungsikan pemanfaatan sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya guna kepentingan pembangunan.
Hukum agraria yang berlaku di Negara Indonesia adalah berpokok pangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Undang-Undang ini merupakan suatu produk legislatif nasional yang pertama yang merupakan landasan bagi pengaturan soal-soal keagrariaan.
Dasar dari pada Hukum Agraria nasional adalah Hukum Adat. Hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur bersandar pada hukum agama.Tetapi hukum adat yang berlaku menurut UUPA adalah hukum adat yang sudah disaneer (artinya bukan seluruh hukum adat yang ada dan berlaku ketika UUPA itu diundangkan) dan juga tidak bertendensi menantang azas unifikasi (Mahfud, 2001: 347).
Ini menandakan bahwa UUPA berkarakter responsif sebab hukum yang memiliki muatan hukum adat dapat dilihat sebagai hukum yang responsif. UUPA lahir justru pada saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Menurut Mahfud (2001: 348), ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang reponsif ini : pertama, materi UUPA itu sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk pada tahun 1948. Kedua, materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka, Ketiga, materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA. Keempat, hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hukum publik dan bidang hukum privat.
Notonagoro dalam Iman Soetiknjo (1990:16-18), menegaskan bahwa bagi Politik Agraria Nasional sebaiknya mendasarkan diri atas sifat manusia sebagai dwitunggal yaitu sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam hukum agraria, ada hubungan langsung antara Negara dan tanah dengan menggunakan sistem hak privat dan kolektif bersama-sama.
Lebih lanjut Notonagoro merumuskan pedoman bagi hukum agraria berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, dalam arti tidak dapat dihilangkan oleh siapapun.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memungkinkan didapatnya pedoman bahwa hubungan manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat privat dan kolektif sebagai dwitunggal.
Sila Persatuan Indonesia, dapat dirumuskan pedoman bahwa orang Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia. Dengan menghubungkan sila ini dengan sila kemanusiaan Yang Adil dan Beradap yang mempunyai unsur mahkluk sosial yang bersifat internasional, maka orang asingpun dapat diberi kekuasaan atas tanah di Indonesia, sejauh itu dibutuhkan dan tidak merugikan orang Indonesia. Jadi, pemberian tanah pada orang asing itu menurut kepentingan Negara dan bangsa Indonesia.
Menurut Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dapat diambil pedoman bahwa tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kekuasaan sama atas tanah.
Berdasarkan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan untuk menerima bagian dari manfaat tanah menurut kepentingan hak hidupnya bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
C. Pengertian Penyuluhan Hukum Agraria
Pada masyarakat di wilayah rawan konflik, penyuluhan hukum agraria mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam berbagai literatur, istilah penyuluhan diartikan sebagai counseling and guidance. Dalam dunia pendidikan penyuluhan, penyuluhan diartikan sebagai suatu usaha para pendidik untuk membantu siswa mengatasi berbagai kesulitan di sekolah atau di luar sekolah. Di bidang pertanian, Totok Mardikanto (1996:48), mendefinisikan penyuluhan sebagai suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, menaikkan pendapatan dan keuntungan, serta perubahan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri :
Pertama, penyuluhan adalah sistem pendidikan luar sekolah atau di luar sistem sekolah yang : terencana dan terprogram; dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (“learning by doing”); tidak terikat waktu, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya; disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dan pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik.
Kedua, penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, sehingga: metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding pendidikan yang sifatnya vertikal atau menggurui; keberhasilannya tidak ditentukan oleh jumlah materi/ informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dan peserta didik; sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun dewasa dalam arti psikologis).
Bertitik tolak dari pengertian penyuluhan tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa setiap kegiatan penyuluhan harus memenuhi unsur-unsur : penyuluhan merupakan suatu proses yang berkesinambungan (continuoes process) dan penyuluhan dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi dan membantu orang lain agar dapat mengatasi kesulitan.
Terdapat 3 komponen pokok di dalam proses penyuluhan hukum agrarian, yakni : penyuluhan dan sasarannya, informasi hukum dan caranya (alat/media). Berhasil tidaknya suatu program penyuluhan hukum senantiasa tergantung pada keserasian antara ketiga kompenen tersebut (Sorjono Soekanto, 1986 : 83)
Selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh petugas penyuluh yang telah mempunyai pengetahuan, pengalaman, keahlian serta ketrampilan di bidang agraria. Dengan demikian, hanya petugas penyuluh yang memenuhi kualifikasi tertentu yang dapat ditunjuk dan diangkat sebagai penyuluh.
Sorjono Soekanto (1986 : 83-84) menegaskan bahwa seorang penyuluh hukum harus mampu “mulut sarira” atau “mawas diri”, hal mana didasarkan pada sikap tindak yang didasarkan pada iktiar hidup logis, etis dan estetis.
Menurut Totok Mardikanto (2003;163-165), untuk menjadi penyuluh yang professional, harus memahami : Pertama, filosofi penyuluhan, untuk mendidik masyarakat/petani agar mampu membantu dirinya sendiri dalam rangka perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Kedua, etika penyuluhan, untuk selalu jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras dengan keuletan dan kesabaran. Ketiga, profesi penyuluh yang menuntut kualifikasi : (a) terampil menjalin hubungan baik dengan masyarakat penerima manfaat serta mampu menjelaskan materi dan tujuan kegiatannya. (b) memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang materi penyuluhan, (c) bersikap positif tentang materi yang disampaikan, mengasihi dan mencintai masyarakatnya, serta menyukai dan bangga akan profesinya. (d) mau memahami keadaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya, (e) memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai penyuluh, (f) mampu megorganisasikan masyarakat dan sumber daya yang ada, (g) selalu berusaha melakukan pengkajian untuk: memahami masalah yang dihadapi masyarakatnya, menentukan titik-titik pusat kegiatan, mencari alternatif pemecahan masalah dan memilih cara pemecahan masalah yang tepat.
Sesuai uraian diatas, pengertian penyuluhan di bidang hukum agraria perlu dirumuskan agar untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan kerja bagi satuan organisasi penyuluhan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Penulis mendefinisikan penyuluhan hukum agraria adalah suatu sistem penyampaian informasi, konsultasi dan bimbingan masalah pertanahan secara berkesinambungan kepada masyarakat luas untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran hukum, dan kemauan anggota masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
D. Tujuan Penyuluhan Hukum Agraria
Beberapa perundang-undangan di Indonesia, telah mencantumkan suatu perumusan mengenai tujuan dari penyuluhan hukum. Perumusan tujuan tersebut antara lain di dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06 – UM. 06. 02 Tahun 1983 dan nomor M. 10 – UM. 06. 02 Tahun 1983, yakni : 1) menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan; 2) membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 73).
Seperti diuraikan diatas, kegiatan penyuluhan hukum agraria merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional, mengingat konflik tentang pertanahan sekarang dan di masa depan semakin banyak intensitasnya dan semakin kompleks permasalahannya. Tujuan dilakukan penyuluhan hukum agraria adalah untuk menciptakan tata kelola administrasi pertanahan yang baik (Good Land Governance).
Berbagai konflik agraria yang terjadi di masa lalu, Mustain (2005: 416-417), dalam penelitian petani di Kalibakar Malang, menemukan bahwa aksi reclaiming oleh petani Kalibakar atas tanah yang dikuasai PTPN XII sesungguhnya terjadi dalam konteks problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan terjadinya cultural conflict. Hasil studi ini memperkuat dugaan bahwa konflik antara rakyat petani dan PTPN XII bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas tanah dengan justifikasi claim yang di dasarkan pada dasar logika hukum masing-masing pihak, hukum negara yang positivistik, legal formal, prosedural dan hukum rakyat yang lokal dan non formal.
Studi yang dilakukan oleh Ipong S Azhar (1999:181-182), sengketa tanah HGU antara para petani dengan PTP XXVII di Kecamatan Rambipuji, Jenggawah, dan Mumbulsari, Kabupaten Jember yang akhirnya melahirkan gerakan radikal petani dalam rangka mempertahankan tanah-tanah HGU, berakar pada tidak tercapainya kompromi dalam proses tawar menawar yang dilakukan. PTP XXVII tetap bertahan dengan kehendaknya untuk mempertahankan penguasaan tanah HGU, sedangkan petani tetap berkehendak agar tanah tersebut dikembalikan kepada mereka dengan dikukuhkan di depan hukum melalui pemberian sertifikat hak milik.
Para petani tetap bertahan pada pendirian bahwa tanah HGU bekas hak erfpacht itu merupakan hak milik mereka. Tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka yang diperolehnya dari babat alas (membuka hutan). Sedangkan PTP XXVII menganggap bahwa yang berhak memiliki tanah adalah pihaknya karena didasarkan pada pelaksanaan nasionalisasi yang disahkan oleh undang-undang. Karena kedua belah pihak tetap bertahan dengan pendapat dan kehendaknya masing-masing, maka terjadinya konflik terbuka antara para petani dengan PTP XXVII yang dibantu oleh aparat keamanan menjadi tidak terelakan lagi.
Keadaan yang demikian itu sudah tentu akan mengakibatkan menurunnya citra Badan Pertanahan Nasional sebagai institusi yang mengelola hak kepemilikan tanah, sehingga penyuluhan hukum agraria pada masyarakat rawan konflik menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Penyuluhan hukum agraria harus memberi kesan positif di kalangan masyarakat dan bahwa penyuluhan hukum agraria merupakan perwujudan dari pengabdian masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasional.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa tujuan penyuluhan hukum agraria adalah untuk : (a) meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya kejelasan hak kepemilikan tanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara tentang agraria, (c) meningkatkan kemauan masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara yang taat pada hukum, (d) mendorong keikutsertaan lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan agar turut serta mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria, (e) memperbaiki dan memelihara citra institusi pemerintah terkait, menuju terciptanya Good land Governance.
E. Sasaran Penyuluhan Hukum Agraria
Salah satu prinsip yang dipakai UUPA adalah fungsi sosial yang dilekatkan pada hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menegaskan “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dapat diartikan sebagai penyangkalan terhadap hak subyektif yang sepenuh-penuhnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh leon Duguit “tidak ada hak subyektif (subyektif recht), yang ada hanya fungsi sosial.” Menurut Parlindungan (dalam Mahfud, 2001:186), prinsip fungsi sosial diangkat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dengan prinsip tersebut maka hak milik tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan umum, dan untuk itu pemerintah dapat melakukan intervensi. Menurut penjelasan pasal 6 UUPA, seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang berakibat merugikan kepentingan masyarakat.
Penetapan prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial mempunyai arti bahwa hukum agraria Indonesia mengambil jalan kompromi antara dua ekstrem paham, yaitu individualism dan komunalisme atau antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama. Dengan kata lain UUPA, sesuai dengan Pancasila, mengambil jalan yang seimbang antara keduanya atau menjadikan keduanya sebagai dwitunggal.
Konskuensi dari prinsip fungsi sosial ini adalah jika ada tanah yang terlantar maka hak atas tanah tersebut kembali kepada “hak menguasai dari negara”. Selain itu, juga berkonskuensi bagi kewenangan negara untuk menentukan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan hak milik, serta mencabut hak atas tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang (Mahfud, 2001:186-187).
Sasaran penyuluhan hukum agraria adalah penerima manfaat atau beneficiaries pembangunan agraria, yang terdiri dari individu atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam urusan agraria yang terlibat secara lansung atau tidak langsung dalam kegiatan pembangunan agraria. Termasuk sasaran/penerima manfaat pembangunan agraria adalah masyarakat sekitar perkebunan, masyarakat sekitar hutan, masyarakat sekitar sabuk hijau dan masyarakat lainnya yang terlibat baik langsung atau tidak dalam konflik agraria.
Dikeluhkan oleh Totok Mardikanto (1996 : 68), bahwa pada umumnya kegiatan penyuluhan hanya diarahkan kepada kelompok warga masyarakat lapisan bawah atau kelompok akar rumput (grass root), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tercapainya tujuan pembangunan justru tidak hanya ditentukan oleh perubahan perilaku dan/ atau partisipasi kelompok masyarakat lapisan bawah yang menjadi pelaku utama pembangunan namun seringkali ditentukan dan didukung oleh keputusan dan/atau kegiatan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Berpijak dari hal tersebut, maka penyuluhan hukum agraria tidak saja ditujukan pada masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi aparat penegak hukum, aparat pejabat terkait dengan agraria serta lembaga-lembaga non pemerintah juga menjadi sasaran penyuluhan hukum agraria ini.
Apabila kita cermati, setiap pembangunan merupakan suatu proses. Membangun tidak mungkin tanpa tanah, sebaliknya penggunaan tanah tidak mungkin kalau tidak ada pembangunan baik oleh pemerintah maupun perorangan. Disamping itu penduduk selalu bertambah sementara luas tanah tetap, kondisi tersebut menjadikan tanah menjadi suatu barang yang semakin bernilai tinggi.
Sejalan dengan itu, kebutuhan tanah untuk kepentingan umum semakin tinggi sementara semakin langkanya tanah-tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Konsekuensi logis, negara mengambil tanah-tanah penduduk untuk memenuhi kepentingan umum tersebut.
Pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum tersebut tidak terlepas dari konflik-konflik yang selalu menyertainya. Keberadaan penyuluhan hukum agraria di sini adalah untuk menghindari konflik yang terjadi sebagai akibat pembebasan-pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum.
F. Urgensi Penyuluhan Hukum Agraria
Urgensi tentang bagaimana negara melakukan penyuluhan hukum agraria sangat penting dilakukan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan yang sarat dengan konflik pertanahan. Bahkan jumlah sengketa tanah tersebut cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk itulah diperlukan upaya nyata dan sungguh-sungguh dalam penyelesaian kasus atau sengketa tanah yang telah ada selama ini.
Sengketa agraria di Indonesia telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah maupun bobot sengketanya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus) (Setiawan, 2009).
Di wilayah pedesaan, arena konflik tersebut umumnya di dorong oleh kondisi topografi dan potensi alam yang ada. Di wilayah-wilayah pertanian dataran tinggi yang berorientasi pada sistem pertanian komersial dengan produk tanaman keras sedangkan di dataran rendah adanya areal perkebunan komoditi ekspor.
Hasil penelitian Mittal (2004: 122-123), di India setiap tahunnya lebih dari dua juta petani gurem dan marginal kehilangan tanah atau terasing dan tercerabut dari tanah mereka sendiri. Hal ini disebabkan lahan tanaman pangan milik mereka diambil alih oleh elit penguasa korporasi-korporasi global. Lahan tersebut kemudian digunakan untuk memproduksi berbagai tanaman yang memiliki daya jual di pasaran.
Sedangkan di wilayah perkotaan, konflik pertanahan lebih di dominasi oleh penataan tata ruang dan begitu kuatnya peran kapitalisme global terhadap pengelolaan tanah. Misalnya : studi yang ditulis oleh Sudharto P. Hadi (2006:120-123), yakni Kasus Rencana Tapak Pertunjukkan Sinar dan Suara (Multi Media Show) di Borobudur, dimana disitu terjadi tarik ulur antar berbagai kelompok kepentingan terkait peruntukkan tanah. Setidaknya ada empat kelompok kepentingan terkait dengan rencana pembangunan tersebut, yakni pihak perusahaan pengelola, pemerintah daerah, Direktorat Linbinjarah dan masyarakat sekitar candi Borobudur.
Kasus lain dipaparkan oleh Salman Drajat (2006), yang terjadi di Meruya, Kepemilikan dokumen ganda dapat terjadi ketika penerbitan girik atau sertifikat tidak konsisten dengan UUPA. Peraturan hukum itu mensyaratkan adanya sertifikat tanah dalam setiap transaksi jual beli tanah. Girik tidak dapat dijadikan bukti jual beli tanah karena merupakan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Namun banyak girik atau surat garapan tanah dijadikan alat bukti kepemilikan yang sah. Akibatnya timbul masalah, seperti pada kasus Meruya Selatan. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa. Tetapi buktinya ribuan warga yang kini mendiami lokasi tersebut, mereka bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah, diantaranya berupa sertifikat.
Dengan demikian urgensi penyuluhan hukum sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat perubahan begitu cepat dan tuntutan kebutuhan penduduk untuk kepentingan publik semakin kompleks yang sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas dari konflik peruntukkan tanah.
G. Penutup
Untuk menuju terciptanya Good Land Governance, maka penyuluhan hukum agraria di laksanakan di seluruh Indonesia berdasarkan pedoman kerja yang dituangkan dalam buku panduan, antara lain : (a) Pola Dasar Penyuluhan Hukum Agraria, (b) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Panjang dan (c) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Pendek.
Keberhasilan pelaksanaan penyuluhan hukum agraria tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Oleh karena itu penyuluhan hukum agraria dengan strategi yang meliputi : (a) komitmen politis, yaitu keterlibatan dan keterikatan lembaga-lembaga resmi pemerintah baik departemen maupun non departemen ataupun badan untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria, (b) komitmen masyarakat dan atau lembaga masyarakat, baik secara perorangan atau kelompok untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, 1978. Aneka Masalah
Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia. Bandung : Alumni
Drajat, Salman., 2008. Mencuatnya
Kasus Sengketa Tanah. http://sibodil.wordpress.com/2008/03/13/mencuatnya-kasus-sengketa-tanah/#more-58
diakses tanggal 5 Februari 2009.
Iman Soetiknjo, 1990. Politik Agraria
Nasional. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Ipong S Azhar, 1999. Radikalisme
Petani Masa Orde Baru : Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Yogyakarta :
yayasan Untuk Indonesia.
Mahfud, 2001. Politik Hukum di
Indonesia. Jakarta : PT Pustaka LP3ES.
Mertokusumo dan Suyitno, 1988. Materi
Pokok Hukum dan Politik Agraria. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mittal, A., 2004. Tanah
Yang Terserobot, Kemiskinan dan Kelaparan. Dalam International Forum
on Globalization. “Globalisasi Kemiskinan
dan Ketimpangan” Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Mustain, 2005. Gerakan Petani di
Pedesaan Jawa Timur Pada Era Reformasi : Studi kasus Gerakan Reclaiming Oleh Petani Atas Tanah yang Dikuasai PTPN XII
Kalibakar, Malang Selatan. Surabaya : Universitas Airlangga. Disertasi.
Totok Mardikanto, dkk., 1996. Penyuluhan
Pembangunan Kehutanan. Jakarta : Kerja sama Pusat Penyuluhan Kehutanan
Departemen Pertanian RI dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Totok Mardikanto, 2003. Redefinisi
dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Sukoharjo : PUSPA.
Setiawan, Usep., 2009. Lahan Abadi
Pertanian dan Reforma Agraria http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=237&Itemid=85
Diakses tanggal 17 April 2009.
Soekanto, Soerjono., 1986. Beberapa Cara dan Mekanisme Dalam Penyuluhan
Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita.
Sudharto P. Hadi, 2006. Resolusi
Konflik Lingkungan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Urger., R.M., 2008. Teori Hukum
Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Bandung : Nusa Media.
Utsman, S., 2008. Menuju Penegakan
Hukum Responsif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Posting Komentar