Oleh :
Dr. H. Muhamad.Rakhmat, S.H., M.H.
A. Pendahuluan
Teori hukum berasal dan merupakan gabungan dari dua suku kata Teori dan Hukum. Dimana salah satu pertanyaan pertama ketika awal mempelajari dan berbicara mengenai hukum adalah apakah hukum itu?, akan tetapi baik mulai sejak Plato sampai Hart, dari Aritoeteles hingga Dworkin, sampai dengan saat ini belum terdapat jawaban dan definisi atau rumusan pengertian mengenai hukum yang memuaskan dan baku, melainkan pengertian hukum dikaitkan dengan teks dan konteks apa hukum tersebut dibicarakan. Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.
Berkaitan dengan ruang lingkup penyeledikan teori hukum tersebut, menurut Dias, meliputi: faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan. Sedangkan menurut Otje Salman dan Anthon F. Susanto, adapun ruang lingkup teori hukum meliputi: mengapa hukum berlaku?, apa dasar kekuatan mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, apa hubungan dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil.
Sementara itu, teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo, merupakan usaha untuk mendekati atau menerangkan kompleks hukum sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau premis-premis tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau dialektis (mazhab Dialektis), ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif (mazhab Positivis) atau dari ambisi untuk membebaskan hukum dai anasir-anasir politik dan kekuasaan (mazhab hukum Murni).
Antara teori hukum dengan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit dibedakan antara satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum adalah juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat hukum juga membicarakan teori hukum, tetapi filsafat hukum tidak mengajukan suatu teori hukum. Dimana didalamnya terdapat pula kesamaannya, yakni filsafat hukum dan teori hukum sama-sama tidak membatasi diri pada hukum yang berlaku, melainkan pada usaha pencarian hukum yang benar dalam arti ius constituendum. Akan tetapi terdapat pula perbedaannya, yakni teori hukum bertitik tolak dari suatu teori (hypothesis) tertentu, sedangkan filsafat hukum merupakan diskursus yang terbuka yang tidak membatasi diri pada postulat, premis atau metode tertentu.
Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat. Oleh karenanya, agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Berbicara mengenai lahir, tumbuh dan berkembangnya teori hukum, maka dapat dikemukakan adanya beberapa aliran/mazhab hukum menurut para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Aliran/mazhab hukum menurut F.S.G. Northrop terdiri dari:
a. Legal Positivism;
b. Pragmatic Legal Realism;
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence;
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence;
e. Natural Jurisprudence.
2. Sedangkan aliran/mazhab hukum menurut Friedmann terdiri dari:
a. Aliran yang didasarkan atas hukum alam berdasarkan nilai-nilai abadi (naturalistic jurisprudence);
b. Aliran yang didasarkan filsafat masalah keadilan;
c. Aliran yang didasarkan atas pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum;
d. Aliran positivisme dan positivisme hukum;
e. Aliran hukum yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan (manfaat).
3. Ada tiga berpikir, menurut G.W. Paton, tentang hukum, yaitu:
a. The pure science of law.
b. Functional/sociological jurisprudence.
c. Teological jurisprudence.
4. Sementara itu, sebagai kesimpulan menurut Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, adapun penggolongan aliran/mazhab hukum adalah sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam (hukum kodrat), dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum alam yang irrasional;
(2) aliran hukum alam yang rasional;
b. Aliran hukum positif, dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum positif yang analitis;
(3) aliran hukum positif yang murni;
c. Aliran Utilitarianisme;
d. Mazhab Sejarah;
e. Sociological Jurisprudensi;
f. Pragmatic Legal Realism.
Dari pembagian aliran/mazhab hukum tersebut, adalah menarik untuk mengkaji lebih lanjut, dimanakah kedudukan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut.
Untuk itu, penulis memilih judul “Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori Hukum”. Meskipun teori hukum tidak berbicara mengenai realitas hukum dan hukum positif tertentu.
Karenanya tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam dan menyeluruh semua aliran/mazhab hukum tersebut, akan tetapi dan melainkan dibatasi oleh dan dengan yang berkaitan dengan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut. Kalaupun terjadi penyebutan aliran/mazhab hukum tertentu, maka hal tersebut adalah merupakan penjelasan teks dan konteks tulisan yang bersangkutan.
B. Pembahasan
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Antara Undang-undang dengan Hakim/pengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran yaitu:
1. Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
2. Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
a. Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.
b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat.
Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
c. Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.
d. Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht—karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya.
Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis yaitu: (1) Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (2) Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu:(1) Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. (2)Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1) Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
(2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
(3) Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
(4) Interpretasi Teleologis (sosiologis), Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
(5) Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting.
(6) Interpretasi antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
(7) Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
(8) Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut;
(2) tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi;
(3) zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.
Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi), yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
(1) argumentum per analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
(2) argumentum a contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
(3) Penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.
(4) fiksi hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.
Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.
Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum (Rechtssicherheit) , kemamfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja. Karenanya dalam suatu sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis Pemohon dan Termohon Pailit yang bersangkutan dan memperhatikan asas kemanfaatan dengan memperhitungkan untung rugi (cost benefit analysis) yang timbul sebagai akibat dari putusannya. Misalnya, apakah putusannya tersebut akan memperlancar ataukah menghambat proses ekonomi.
Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
C. Penutup
Oleh karena Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat, maka agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Meskipun teori hukum tidak difokuskan pada tahapan penyelesaian sengketa dan tidak difokuskan pula pada hukum positif tertentu, akan tetapi teori hukum dapat digunakan sebagai pisau analisis dengan pendekatan aliran hukum positif dan aliran penemuan hukum oleh hakim, untuk mengkaji peranan dan putusan hukum hakim.
Putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
(Penulis adalah Ketua LKBH Fakultas Hukum Universitas Majalengka, Pengamat Hukum dan Otonomi Daerah, Dosen Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Majalengka).
Dr. H. Muhamad.Rakhmat, S.H., M.H.
A. Pendahuluan
Teori hukum berasal dan merupakan gabungan dari dua suku kata Teori dan Hukum. Dimana salah satu pertanyaan pertama ketika awal mempelajari dan berbicara mengenai hukum adalah apakah hukum itu?, akan tetapi baik mulai sejak Plato sampai Hart, dari Aritoeteles hingga Dworkin, sampai dengan saat ini belum terdapat jawaban dan definisi atau rumusan pengertian mengenai hukum yang memuaskan dan baku, melainkan pengertian hukum dikaitkan dengan teks dan konteks apa hukum tersebut dibicarakan. Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.
Berkaitan dengan ruang lingkup penyeledikan teori hukum tersebut, menurut Dias, meliputi: faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan. Sedangkan menurut Otje Salman dan Anthon F. Susanto, adapun ruang lingkup teori hukum meliputi: mengapa hukum berlaku?, apa dasar kekuatan mengikatnya?, apa yang menjadi tujuan hukum?, bagaimana seharusnya hukum itu dipahami?, apa hubungan dilakukan oleh hukum?, apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil.
Sementara itu, teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo, merupakan usaha untuk mendekati atau menerangkan kompleks hukum sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau premis-premis tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau dialektis (mazhab Dialektis), ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif (mazhab Positivis) atau dari ambisi untuk membebaskan hukum dai anasir-anasir politik dan kekuasaan (mazhab hukum Murni).
Antara teori hukum dengan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit dibedakan antara satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum adalah juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat hukum juga membicarakan teori hukum, tetapi filsafat hukum tidak mengajukan suatu teori hukum. Dimana didalamnya terdapat pula kesamaannya, yakni filsafat hukum dan teori hukum sama-sama tidak membatasi diri pada hukum yang berlaku, melainkan pada usaha pencarian hukum yang benar dalam arti ius constituendum. Akan tetapi terdapat pula perbedaannya, yakni teori hukum bertitik tolak dari suatu teori (hypothesis) tertentu, sedangkan filsafat hukum merupakan diskursus yang terbuka yang tidak membatasi diri pada postulat, premis atau metode tertentu.
Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat. Oleh karenanya, agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Berbicara mengenai lahir, tumbuh dan berkembangnya teori hukum, maka dapat dikemukakan adanya beberapa aliran/mazhab hukum menurut para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Aliran/mazhab hukum menurut F.S.G. Northrop terdiri dari:
a. Legal Positivism;
b. Pragmatic Legal Realism;
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence;
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence;
e. Natural Jurisprudence.
2. Sedangkan aliran/mazhab hukum menurut Friedmann terdiri dari:
a. Aliran yang didasarkan atas hukum alam berdasarkan nilai-nilai abadi (naturalistic jurisprudence);
b. Aliran yang didasarkan filsafat masalah keadilan;
c. Aliran yang didasarkan atas pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum;
d. Aliran positivisme dan positivisme hukum;
e. Aliran hukum yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan (manfaat).
3. Ada tiga berpikir, menurut G.W. Paton, tentang hukum, yaitu:
a. The pure science of law.
b. Functional/sociological jurisprudence.
c. Teological jurisprudence.
4. Sementara itu, sebagai kesimpulan menurut Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, adapun penggolongan aliran/mazhab hukum adalah sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam (hukum kodrat), dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum alam yang irrasional;
(2) aliran hukum alam yang rasional;
b. Aliran hukum positif, dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
(1) aliran hukum positif yang analitis;
(3) aliran hukum positif yang murni;
c. Aliran Utilitarianisme;
d. Mazhab Sejarah;
e. Sociological Jurisprudensi;
f. Pragmatic Legal Realism.
Dari pembagian aliran/mazhab hukum tersebut, adalah menarik untuk mengkaji lebih lanjut, dimanakah kedudukan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut.
Untuk itu, penulis memilih judul “Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori Hukum”. Meskipun teori hukum tidak berbicara mengenai realitas hukum dan hukum positif tertentu.
Karenanya tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam dan menyeluruh semua aliran/mazhab hukum tersebut, akan tetapi dan melainkan dibatasi oleh dan dengan yang berkaitan dengan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut. Kalaupun terjadi penyebutan aliran/mazhab hukum tertentu, maka hal tersebut adalah merupakan penjelasan teks dan konteks tulisan yang bersangkutan.
B. Pembahasan
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Antara Undang-undang dengan Hakim/pengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa aliran yaitu:
1. Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, undang-undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
2. Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
a. Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.
b. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat.
Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
c. Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.
d. Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht—karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya.
Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman.
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis yaitu: (1) Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (2) Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu:(1) Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. (2)Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1) Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
(2) Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).
(3) Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).
(4) Interpretasi Teleologis (sosiologis), Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.
(5) Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting.
(6) Interpretasi antisipatif (futusritis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.
(7) Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
(8) Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:
(1) materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut;
(2) tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi;
(3) zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.
Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis (konstruksi), yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:
(1) argumentum per analogiam (Analogi) atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum) lain.
(2) argumentum a contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
(3) Penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum (penghalusan hukum) atau determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.
(4) fiksi hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.
Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.
Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum (Rechtssicherheit) , kemamfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut.
Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja. Karenanya dalam suatu sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis Pemohon dan Termohon Pailit yang bersangkutan dan memperhatikan asas kemanfaatan dengan memperhitungkan untung rugi (cost benefit analysis) yang timbul sebagai akibat dari putusannya. Misalnya, apakah putusannya tersebut akan memperlancar ataukah menghambat proses ekonomi.
Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
C. Penutup
Oleh karena Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat, maka agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Meskipun teori hukum tidak difokuskan pada tahapan penyelesaian sengketa dan tidak difokuskan pula pada hukum positif tertentu, akan tetapi teori hukum dapat digunakan sebagai pisau analisis dengan pendekatan aliran hukum positif dan aliran penemuan hukum oleh hakim, untuk mengkaji peranan dan putusan hukum hakim.
Putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
(Penulis adalah Ketua LKBH Fakultas Hukum Universitas Majalengka, Pengamat Hukum dan Otonomi Daerah, Dosen Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Majalengka).