Oleh :
Dr. H. Muhamad Rakhmat, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)
A.
Pendahuluan.
Tindak kekerasan di dalam rumah
tangga (domestic violence) merupakan
jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada
umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah
tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan
kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku
dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak
dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat
tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan,
pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada
istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan
keharmonisan rumah tangga (sanctitive of
the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak
suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada
istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto,
1996).
Perspektif gender beranggapan
tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu
sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai
yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas
laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan
keluarga adalah dominasi suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990)
menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.
Laki-laki sebagai culture mempunyai
wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).
Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih
tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan
memaksa perempuan. Dari dua teori ini
menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas
perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering
bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi
terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya
respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan
pernikahan. Istri memendam sendiri
persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada
anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu
institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah
domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap
kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas,
sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness)
berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.
Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan
dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan
menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang
kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat
nasional. Laporan dari institusi pusat
krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap
perempuan,. Menurut Komisi Perempuan
(2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah
menikah dan pelakunya selalu suami mereka.
Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah
para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari
perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9
dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis
kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian),
hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam
rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan
(istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami
(pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan
dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban
(istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan
istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada
istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100
responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan
pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa
psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19
orang), kekerasan fisik (11 orang).
Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan
saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami
labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara
istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan
korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap
bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini
kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak
menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa
pamit. Hal ini diyakini oleh pihak
istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam
tidak membantah.
Penelitian yang mengkaitkan
tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih
sedikit. Menurut Hasbianto (1996),
dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis
dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.
Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender
dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan
terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan
reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri,
karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan
seksual maupun tidak.
B.
Memahami
Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001)
menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan
yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk
mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap
perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat
terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga
menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali
terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan
penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan yang dekat.
Tindak kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat
atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki
adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk
menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan
tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap
stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap
lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul
istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap
perempuan.
Kecenderungan tindak
kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan
kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa
diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi
pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila
istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada
istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi,
masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).
Saat ini dengan berlakunya
undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka
tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri
tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah
dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (http://kompas.com).
C.
Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan
Menurut Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan
fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata,
dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan
psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
3. Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
4. Kekerasan
seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
5. Kekerasan
ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).
B. Faktor-faktor yang mendorong
terjadi tindak kekerasan dalam
Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:
1. Pembelaan
atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban
pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri
sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita
sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut
hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
C. Dampak kekerasan terhadap kesehatan
reproduksi.
Kesehatan reproduksi menurut ICPD
(1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh,
tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Masalah
kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua
dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT
(2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI :
11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi
2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab :
57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).
Menurut Suryakusuma (1995) efek
psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek
fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan
reaksi panjang dari
tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri
juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada
akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya
sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti
penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak
kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang
dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995)
kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan
seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh
dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh
pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989)
yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa
perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan
menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang
tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa
berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri
perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar
dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak
perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.
Perempuan terganggu kesehatan
reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti
menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan
mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Di
seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan
seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus,
persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan
akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus,
persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan
dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik
atau bayi lahir mati. Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ
reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir,
emosi dan ekonomi keluarga. Dampak
terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara
berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu
merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak
bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan
memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan
yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing,
nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga.
Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan
ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan
yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak,
kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan
dan terapi serta ongkos perkara.
Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami
depresi, penyalahgunaan / pemakaian
zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri,
keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
D.
Issu
tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus
menjadi perbincangan hangat. Salah satunya
adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring
disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of
All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun
1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang
dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah
Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004
tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga'.
Perjuangan penghapusan KDRT
berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas
perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi
penyedia layanan korban kekerasan.
Tanggal 22 September
2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut,
perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi
Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang
merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba
mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki
dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan
wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi,
dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja
mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor
beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung
beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak
diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai
anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak
dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana
pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang
mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah
meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi
misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan.
Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku
kolusi dan korupsi pada semua lini
pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70%
penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu
menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan
pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang
berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT
menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi
yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan
di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan
yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks
bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti
homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan,
menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat
mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku
santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan
pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang
berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan
kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat
sangat rendah.
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang
menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh
sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki.
Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam
rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah
timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri.
Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan
sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU
PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung
jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam
rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi
memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul
berbagai persepsi.
Sehubungan dengan
banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti
perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana
berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan
pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja
sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu,
diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para
pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang
mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia
dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu
direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan,
seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain
itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan
gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan
perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya
UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
Penegakan hukum UU
PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara
tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU
PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law
in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum
harus ditegakkan.
E.
Implikasi
keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah
:
1. Merekomendasikan
tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center.
2. Memberikan
pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat
dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi
ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan.
Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya
melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi
lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan
sekunder dengan penerapan asuhan
keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier
melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan
rehabilitasi.
3. Memberikan
pendampingan hukum dalam acara peradilan.
4. Melatih
kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
5. Mengadakan
pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga
sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.
F.
KESIMPULAN
DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Tindak
kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat
perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk
kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta
penelantaran rumah tangga.
2. Faktor
yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan
laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak,
wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak
tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi
psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin,
serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi
keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain
mesupport secara psikologis korban,
melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5. Fenomena
gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004
diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah
publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku
mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi
laki-laki.
SARAN
Dengan disahkan undang-undang
KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata
serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk
ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan
repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang
perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001).
Konstruksi
Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta:
UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
__________. (2006). Sekilas
Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari
Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Potret Muram
Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan,
Makalah Disajikan pada Seminar Nasional
Perlindungan Perempuan dari
pelecehan dan Kekerasan seksual.
UGM
Yogyakarta, 6 November.
Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia.
Jakarta: Ameepro.
Kompas. (2006). Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah
Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence
Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a
case-referent Study in Niceragua. The
International
Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
Rahman,
Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of
Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan,
Universitas Indonesia,
Jakarta,
Indonesia.
Sciortino,
Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan
Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
WHO. (2006). Menggunakan
Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan
Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam
Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.