Pilihan Posting Hari Ini
print this page
Posting Terbaru
Bagi mahasiswa yang belum mengisi KRS dan Perwalian agar menghubungi bagian akademik, dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran registrasi/heregistrasi di Bank BJB

PENERIMAAN MAHASISWA BARU / PINDAHAN / ALIH PROGRAM TAHUN AKADEMIK 2014/2015

PENERIMAAN MAHASISWA BARU / PINDAHAN / ALIH PROGRAM TAHUN AKADEMIK 2014/2015

KEKERASAN PADA ISTRI DALAM RUMAH TANGGA BERDAMPAK TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI


Oleh : 
Dr. H. Muhamad Rakhmat, S.H., M.H. 
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)  

A.     Pendahuluan. 
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.  Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).  Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996). 

Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial.  Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.

Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture.  Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.  Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).  Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.  Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.

Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.  Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami.  Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.  Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.  Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.

Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.  Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional.  Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,.  Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.  Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.  Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik.  Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.  Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang).  Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.  Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit.  Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.

Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih sedikit.  Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.  Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri.  Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.


B.     Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja.  Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan.  Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup.  Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.

Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).
Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (http://kompas.com).


C.     Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam  rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1.      Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2.      Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3.      Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
4.      Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
5.      Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).


B.  Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan  dalam    
      Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1.      Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2.      Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3.      Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4.      Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5.      Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.


C.  Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.

Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT (2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).

Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan  di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.

Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.

Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.

Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati. Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.  Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).

Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. 

Dampak terhadap  status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri


D.    Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.

 Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah  satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga'.

Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.

Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.

Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor  Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. 

Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.

Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.

Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.

Untuk persoalan   ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.

Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.

Sehubungan dengan banyak­nya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.

Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya. 

UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya. 

Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.

E.      Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum  perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
1.    Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center.
2.  Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder  dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
3.      Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.
4.      Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
5.   Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

F.      KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1.     Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana.  Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2.     Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam  rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3.     Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4.    Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5.   Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.


SARAN

Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.


DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001).  Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.

Dep. Kes. RI. (2003).  Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003.  Jakarta: Dep.
Kes. RI

__________.  (2006).  Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.  Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari

Hasbianto, Elli N.  (1996).  Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Potret Muram Kehidupan

Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional
Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual.  UGM
Yogyakarta, 6 November.

Komnas Perempuan (2002).  Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.  
Jakarta: Ameepro.

Kompas.  (2006).  Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi. 
Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

Monemi Kajsa Asling et.al.  (2003).  Violence Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua.  The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.

Rahman, Anita.  (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of
Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.

Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth.  (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan
Domestik di Jawa.  Jurnal Perempuan,  Edisi: 3, Mei-Juni.

WHO.  (2006).  Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan.  Jakarta: Dep. Kes. RI.

____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.



URGENSITAS PENYULUHAN HUKUM AGRARIA PADA MASYARAKAT RAWAN KONFLIK PERTANAHAN


Oleh :

Dr. H. Muhamad Rakhmat, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)


A. Pendahuluan 
Menurut konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka tanah  sebagaimana halnya dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Untuk mengelola secara berdaya guna dan berhasil guna, maka tanah begitu juga bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Tujuan yang dikehendaki oleh UUPA adalah untuk memberikan kepada masyarakat/rakyat adanya hak atas tanah dimana dengan hak dimaksud ia mendapatkan suatu kepastian hukum dan kelayakan hidup. Kondisi yang demikian adalah menginginkan agar setiap orang dapat menikmati haknya secara aman dan cukup dirasakan adil (Abdurrahman, 1978:33).

Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun demikian perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga  membawa perubahan setelah bersenyawanya  dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri (Utsman, 2008:3-4). Perubahan sangat mendasar, kita harus tegakkan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan satu standar aliran positivism tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komunitas hukum modern, mutakhir dan yang mendunia. 

B. Sejarah Singkat Hukum Agraria 

Dalam pengertian yang paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplesit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Ada dua  sisi dalam konsep hukum sebagai interaksi : pertama, adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku. Kedua,  sisi yang bersifat normatif; sentiment akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum (Urger, 2008:63).

Istilah hukum agraria terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan agraria. Sesuai dengan  pengertian sebagai pegangan dari hukum, maka yang dimaksud  hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria (Mertokusumo dan Suyitno,  1988:1).

Hukum agraria sebagai hasil perpaduan dari perkembangan Hukum Perdata dan Hukum Tata Pemerintahan dapat dipandang sebagai satu kelompok hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam, berupa lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit dengan sumber-sumber alam. Di Negara Indonesia mendapat perhatian yang cukup luas dari kalangan ahli hukum terutama sekali dalam rangka memfungsikan pemanfaatan sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya guna kepentingan pembangunan.

Hukum agraria yang berlaku di Negara Indonesia adalah berpokok pangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Undang-Undang ini merupakan suatu produk legislatif nasional yang pertama yang merupakan landasan bagi pengaturan soal-soal keagrariaan.

Dasar dari pada Hukum Agraria nasional adalah Hukum Adat. Hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur bersandar pada hukum agama.Tetapi hukum adat yang berlaku menurut UUPA adalah hukum adat yang sudah disaneer (artinya bukan seluruh hukum adat yang ada dan berlaku  ketika UUPA itu diundangkan) dan juga tidak bertendensi menantang azas  unifikasi (Mahfud, 2001: 347).

Ini menandakan bahwa UUPA berkarakter responsif sebab hukum yang memiliki muatan hukum adat dapat dilihat sebagai hukum yang responsif. UUPA lahir justru pada saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Menurut Mahfud (2001: 348), ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang reponsif ini : pertama, materi UUPA itu sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk pada tahun 1948.  Kedua, materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka, Ketiga, materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA. Keempat,  hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hukum publik dan bidang hukum privat.

Notonagoro dalam  Iman Soetiknjo (1990:16-18),  menegaskan bahwa bagi Politik Agraria Nasional sebaiknya mendasarkan diri atas sifat manusia sebagai dwitunggal yaitu sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam hukum agraria, ada hubungan langsung antara Negara dan tanah dengan menggunakan sistem hak privat dan kolektif bersama-sama.

Lebih lanjut Notonagoro merumuskan pedoman bagi hukum agraria berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, dalam arti tidak dapat dihilangkan oleh siapapun.

Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memungkinkan didapatnya pedoman bahwa hubungan manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat privat dan kolektif sebagai dwitunggal.

Sila Persatuan Indonesia,  dapat dirumuskan pedoman bahwa orang Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia. Dengan menghubungkan sila ini dengan sila kemanusiaan Yang Adil dan Beradap yang mempunyai unsur mahkluk sosial yang bersifat internasional, maka orang asingpun dapat diberi kekuasaan atas tanah di Indonesia, sejauh itu dibutuhkan dan tidak merugikan orang Indonesia. Jadi, pemberian tanah pada orang asing itu menurut kepentingan Negara dan bangsa Indonesia.

Menurut Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dapat diambil pedoman bahwa tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kekuasaan sama atas tanah.

Berdasarkan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan untuk menerima bagian dari manfaat tanah menurut kepentingan hak hidupnya bagi dirinya sendiri dan keluarganya. 


C. Pengertian Penyuluhan Hukum Agraria 

Pada masyarakat di wilayah  rawan konflik, penyuluhan hukum agraria mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan  Nasional. Dalam berbagai literatur, istilah penyuluhan diartikan sebagai counseling and guidance. Dalam dunia pendidikan penyuluhan, penyuluhan diartikan sebagai suatu usaha para pendidik untuk membantu siswa mengatasi berbagai kesulitan di sekolah atau di luar sekolah. Di bidang pertanian, Totok Mardikanto (1996:48), mendefinisikan penyuluhan sebagai suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, menaikkan pendapatan dan keuntungan, serta perubahan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.

Penyuluhan  sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri :  

Pertama, penyuluhan adalah sistem pendidikan luar sekolah atau di luar sistem sekolah yang  : terencana dan terprogram; dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (“learning by doing”); tidak terikat waktu, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya; disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dan pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik. 

Kedua, penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, sehingga: metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding pendidikan yang sifatnya vertikal atau menggurui; keberhasilannya tidak ditentukan oleh jumlah materi/ informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dan peserta didik; sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun dewasa dalam arti psikologis).

Bertitik tolak dari pengertian penyuluhan tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa setiap kegiatan penyuluhan harus memenuhi unsur-unsur : penyuluhan merupakan suatu proses yang berkesinambungan (continuoes process) dan penyuluhan dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi dan membantu orang lain agar dapat mengatasi kesulitan.

Terdapat 3 komponen pokok di dalam proses penyuluhan hukum agrarian, yakni :  penyuluhan dan sasarannya, informasi hukum dan caranya (alat/media). Berhasil tidaknya suatu program penyuluhan hukum senantiasa tergantung pada keserasian antara ketiga kompenen tersebut (Sorjono Soekanto, 1986 : 83) 

Selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh petugas penyuluh yang telah mempunyai pengetahuan, pengalaman, keahlian serta ketrampilan di bidang agraria. Dengan demikian, hanya petugas penyuluh yang memenuhi kualifikasi tertentu yang dapat ditunjuk dan diangkat sebagai penyuluh.

Sorjono Soekanto (1986 : 83-84)  menegaskan bahwa seorang penyuluh hukum harus mampu “mulut sarira” atau “mawas diri”, hal mana didasarkan pada sikap tindak yang didasarkan pada iktiar hidup logis, etis dan estetis.

Menurut Totok Mardikanto (2003;163-165), untuk menjadi penyuluh yang professional, harus memahami : Pertama, filosofi penyuluhan, untuk mendidik masyarakat/petani agar mampu membantu dirinya sendiri dalam rangka perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Kedua,  etika penyuluhan, untuk selalu jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras dengan keuletan dan kesabaran. Ketiga, profesi penyuluh yang menuntut kualifikasi : (a) terampil menjalin hubungan baik dengan masyarakat penerima manfaat serta mampu menjelaskan materi dan tujuan kegiatannya. (b) memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang materi penyuluhan, (c) bersikap positif tentang materi yang disampaikan, mengasihi dan mencintai masyarakatnya, serta menyukai dan bangga akan profesinya. (d) mau memahami keadaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya, (e) memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai penyuluh, (f) mampu megorganisasikan masyarakat dan sumber daya yang ada, (g) selalu berusaha melakukan pengkajian untuk: memahami masalah yang dihadapi masyarakatnya,  menentukan titik-titik pusat kegiatan, mencari alternatif pemecahan masalah dan memilih cara pemecahan masalah yang tepat.

Sesuai uraian diatas, pengertian penyuluhan di bidang hukum agraria perlu dirumuskan agar untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan kerja bagi satuan organisasi penyuluhan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Penulis mendefinisikan penyuluhan hukum agraria adalah suatu sistem penyampaian informasi, konsultasi dan bimbingan masalah pertanahan secara berkesinambungan kepada masyarakat luas untuk  meningkatkan pengetahuan, kesadaran hukum, dan kemauan anggota masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. 

D. Tujuan Penyuluhan Hukum Agraria 

Beberapa perundang-undangan di Indonesia, telah mencantumkan suatu perumusan mengenai tujuan dari penyuluhan hukum. Perumusan tujuan tersebut antara lain di dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06 – UM. 06. 02 Tahun 1983 dan nomor M. 10 – UM. 06. 02 Tahun 1983, yakni : 1) menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan; 2) membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 73).

Seperti diuraikan diatas, kegiatan penyuluhan hukum agraria merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional, mengingat konflik tentang pertanahan  sekarang dan di masa depan semakin banyak intensitasnya dan semakin kompleks permasalahannya. Tujuan dilakukan penyuluhan hukum agraria adalah untuk menciptakan tata kelola administrasi pertanahan yang baik (Good Land Governance).

Berbagai konflik agraria yang terjadi di masa lalu,  Mustain (2005: 416-417), dalam penelitian petani di Kalibakar Malang, menemukan bahwa aksi reclaiming oleh petani Kalibakar atas tanah yang dikuasai PTPN XII sesungguhnya terjadi dalam konteks problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan terjadinya cultural conflict. Hasil studi ini memperkuat dugaan bahwa konflik antara rakyat petani dan PTPN XII bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas tanah dengan justifikasi claim yang di dasarkan pada dasar logika hukum masing-masing pihak, hukum negara yang positivistik, legal formal, prosedural dan hukum rakyat yang lokal dan non formal.

Studi yang dilakukan oleh Ipong S Azhar (1999:181-182),  sengketa tanah HGU antara para petani dengan PTP XXVII  di Kecamatan Rambipuji, Jenggawah, dan Mumbulsari, Kabupaten Jember yang akhirnya melahirkan gerakan radikal petani dalam rangka mempertahankan tanah-tanah HGU, berakar pada tidak tercapainya kompromi dalam proses tawar menawar yang dilakukan. PTP XXVII  tetap bertahan dengan kehendaknya untuk mempertahankan penguasaan tanah HGU, sedangkan petani tetap berkehendak agar tanah tersebut dikembalikan kepada mereka dengan dikukuhkan di depan hukum melalui pemberian sertifikat hak milik.

Para petani tetap bertahan pada pendirian bahwa tanah HGU bekas hak erfpacht itu merupakan hak milik mereka. Tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka yang diperolehnya dari babat alas (membuka hutan). Sedangkan PTP XXVII menganggap bahwa yang berhak memiliki tanah adalah pihaknya karena didasarkan pada pelaksanaan nasionalisasi yang disahkan oleh undang-undang. Karena kedua belah pihak tetap bertahan dengan pendapat dan kehendaknya masing-masing, maka terjadinya konflik terbuka antara para petani dengan PTP XXVII yang dibantu oleh aparat keamanan menjadi tidak terelakan lagi.

Keadaan yang demikian itu sudah tentu akan mengakibatkan menurunnya  citra Badan Pertanahan Nasional sebagai  institusi yang mengelola hak kepemilikan tanah,  sehingga penyuluhan hukum agraria pada masyarakat rawan konflik menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Penyuluhan hukum agraria harus memberi kesan positif di kalangan masyarakat dan bahwa penyuluhan hukum agraria merupakan perwujudan dari pengabdian masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasional.

Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa tujuan penyuluhan hukum agraria adalah untuk : (a) meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya kejelasan hak kepemilikan tanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara tentang agraria, (c)  meningkatkan kemauan masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara yang taat pada hukum, (d) mendorong keikutsertaan lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan agar turut serta mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria, (e) memperbaiki dan memelihara citra institusi pemerintah terkait, menuju terciptanya Good land Governance. 


E. Sasaran Penyuluhan Hukum Agraria 

Salah satu prinsip yang dipakai UUPA adalah fungsi sosial yang dilekatkan pada hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menegaskan “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dapat diartikan sebagai penyangkalan terhadap hak subyektif yang sepenuh-penuhnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh leon Duguit “tidak ada hak subyektif (subyektif recht), yang ada hanya fungsi sosial.” Menurut Parlindungan (dalam Mahfud, 2001:186),  prinsip fungsi sosial diangkat dari Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945. Dengan prinsip tersebut maka hak milik tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan umum, dan untuk itu pemerintah dapat melakukan intervensi. Menurut penjelasan pasal 6 UUPA, seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang berakibat merugikan kepentingan masyarakat.

Penetapan prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai  fungsi sosial mempunyai arti bahwa hukum agraria Indonesia mengambil jalan kompromi antara dua ekstrem paham, yaitu individualism dan komunalisme atau antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama. Dengan kata lain UUPA, sesuai dengan Pancasila, mengambil jalan yang seimbang antara keduanya atau menjadikan keduanya sebagai dwitunggal.

Konskuensi dari prinsip fungsi sosial ini adalah jika ada tanah yang terlantar maka hak atas tanah tersebut kembali kepada “hak menguasai dari negara”. Selain itu, juga berkonskuensi bagi kewenangan negara untuk menentukan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan hak milik, serta mencabut hak atas tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang (Mahfud, 2001:186-187).

Sasaran penyuluhan hukum agraria adalah penerima manfaat atau beneficiaries pembangunan agraria, yang terdiri dari individu atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam urusan agraria yang terlibat secara lansung atau tidak langsung dalam kegiatan pembangunan agraria. Termasuk sasaran/penerima manfaat pembangunan agraria adalah masyarakat sekitar perkebunan, masyarakat sekitar hutan, masyarakat sekitar sabuk hijau dan masyarakat lainnya yang terlibat baik langsung atau tidak dalam konflik agraria.

Dikeluhkan oleh Totok Mardikanto (1996 : 68), bahwa pada umumnya kegiatan penyuluhan hanya diarahkan kepada kelompok warga masyarakat lapisan bawah atau kelompok akar rumput (grass root), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa  tercapainya tujuan pembangunan justru tidak hanya ditentukan oleh perubahan perilaku dan/ atau partisipasi kelompok masyarakat lapisan bawah yang menjadi pelaku utama pembangunan namun seringkali ditentukan dan didukung oleh keputusan dan/atau kegiatan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Berpijak dari hal tersebut, maka penyuluhan hukum agraria tidak saja ditujukan pada masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi aparat penegak hukum, aparat pejabat terkait dengan agraria serta lembaga-lembaga non pemerintah juga menjadi sasaran penyuluhan hukum agraria ini.

Apabila kita cermati, setiap pembangunan merupakan suatu proses. Membangun tidak mungkin tanpa tanah,  sebaliknya penggunaan tanah tidak mungkin kalau tidak ada pembangunan baik oleh pemerintah maupun perorangan. Disamping itu penduduk selalu bertambah sementara luas tanah tetap, kondisi tersebut menjadikan tanah menjadi suatu barang yang semakin  bernilai tinggi.

Sejalan dengan itu, kebutuhan tanah untuk kepentingan umum semakin tinggi sementara semakin langkanya tanah-tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Konsekuensi logis, negara mengambil tanah-tanah penduduk untuk memenuhi kepentingan umum tersebut.

Pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum tersebut  tidak terlepas dari konflik-konflik  yang selalu menyertainya. Keberadaan  penyuluhan hukum agraria di sini adalah  untuk menghindari konflik yang terjadi sebagai akibat pembebasan-pembebasan tanah oleh negara  untuk kepentingan umum. 

F. Urgensi Penyuluhan Hukum Agraria 

Urgensi tentang bagaimana negara melakukan penyuluhan hukum agraria sangat penting dilakukan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan  yang sarat dengan konflik pertanahan. Bahkan jumlah sengketa tanah tersebut cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk itulah diperlukan upaya nyata dan sungguh-sungguh dalam penyelesaian kasus atau sengketa tanah yang telah ada selama ini.

Sengketa agraria di Indonesia telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah maupun bobot sengketanya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus) (Setiawan, 2009).

Di wilayah pedesaan, arena konflik tersebut umumnya di dorong oleh kondisi topografi dan potensi alam yang ada. Di wilayah-wilayah pertanian dataran tinggi yang berorientasi pada sistem pertanian komersial dengan produk tanaman keras sedangkan di dataran rendah adanya areal perkebunan komoditi ekspor.

Hasil penelitian  Mittal (2004: 122-123), di India setiap tahunnya lebih dari dua juta petani gurem dan marginal kehilangan tanah atau terasing dan tercerabut dari tanah mereka sendiri. Hal ini disebabkan  lahan tanaman pangan milik mereka diambil alih oleh elit penguasa korporasi-korporasi global. Lahan tersebut kemudian digunakan untuk memproduksi berbagai tanaman yang memiliki daya jual di pasaran.

Sedangkan di wilayah perkotaan,  konflik pertanahan lebih di dominasi oleh penataan tata ruang dan begitu kuatnya peran kapitalisme global terhadap pengelolaan tanah. Misalnya : studi yang ditulis oleh Sudharto P. Hadi (2006:120-123), yakni Kasus Rencana Tapak Pertunjukkan Sinar dan Suara (Multi Media Show) di Borobudur,  dimana disitu terjadi tarik ulur antar berbagai kelompok kepentingan terkait peruntukkan tanah. Setidaknya ada empat kelompok kepentingan terkait dengan rencana pembangunan tersebut, yakni  pihak perusahaan pengelola, pemerintah daerah, Direktorat Linbinjarah dan masyarakat sekitar candi Borobudur.

Kasus lain dipaparkan oleh Salman Drajat (2006), yang terjadi di Meruya, Kepemilikan dokumen ganda dapat terjadi ketika penerbitan girik atau sertifikat tidak konsisten dengan UUPA. Peraturan hukum itu mensyaratkan adanya sertifikat tanah dalam setiap transaksi jual beli tanah. Girik tidak dapat dijadikan bukti jual beli tanah karena merupakan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Namun banyak girik atau surat garapan tanah dijadikan alat bukti kepemilikan yang sah. Akibatnya timbul masalah, seperti pada kasus Meruya Selatan. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa. Tetapi buktinya ribuan warga yang kini mendiami lokasi tersebut, mereka bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah, diantaranya berupa sertifikat.

Dengan demikian urgensi penyuluhan hukum sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat perubahan begitu cepat dan tuntutan kebutuhan penduduk untuk kepentingan publik  semakin kompleks yang sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas dari konflik peruntukkan tanah. 


G. Penutup 

Untuk menuju terciptanya Good Land Governance, maka penyuluhan hukum agraria di laksanakan di seluruh Indonesia berdasarkan pedoman kerja yang dituangkan dalam buku panduan, antara lain : (a) Pola Dasar Penyuluhan Hukum Agraria, (b) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Panjang dan (c) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Pendek.

Keberhasilan pelaksanaan penyuluhan hukum agraria tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Oleh karena itu penyuluhan hukum agraria dengan strategi yang meliputi : (a) komitmen politis, yaitu keterlibatan dan keterikatan lembaga-lembaga resmi pemerintah  baik departemen maupun non departemen ataupun badan untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria, (b) komitmen masyarakat dan atau lembaga masyarakat, baik secara perorangan atau kelompok untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria.


Daftar Pustaka

Abdurrahman, 1978. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia. Bandung : Alumni
Drajat, Salman., 2008. Mencuatnya Kasus Sengketa Tanah. http://sibodil.wordpress.com/2008/03/13/mencuatnya-kasus-sengketa-tanah/#more-58 diakses tanggal  5 Februari  2009.
Iman Soetiknjo, 1990. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Ipong S Azhar, 1999. Radikalisme Petani Masa Orde Baru : Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Yogyakarta : yayasan Untuk Indonesia.
Mahfud, 2001. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : PT Pustaka LP3ES.
Mertokusumo dan Suyitno,  1988.  Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mittal, A., 2004.  Tanah  Yang Terserobot, Kemiskinan dan Kelaparan. Dalam International Forum on Globalization. “Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan” Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Mustain, 2005. Gerakan Petani di Pedesaan Jawa Timur Pada Era Reformasi : Studi kasus Gerakan Reclaiming Oleh  Petani Atas Tanah yang Dikuasai PTPN XII Kalibakar, Malang Selatan. Surabaya : Universitas Airlangga. Disertasi.
Totok Mardikanto, dkk., 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta : Kerja sama Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Pertanian RI dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Totok Mardikanto, 2003. Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Sukoharjo : PUSPA.
Setiawan, Usep., 2009. Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=237&Itemid=85 Diakses tanggal 17 April 2009.
Soekanto, Soerjono., 1986.  Beberapa Cara dan Mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita.
Sudharto P. Hadi, 2006. Resolusi Konflik Lingkungan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Urger., R.M., 2008. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.  Bandung : Nusa Media.
Utsman, S., 2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

KEPENGURUSAN BARU BPM, SEMA DAN HIMA FAKULTAS HUKUM UNMA PERIODE 2013-2014

Musyawarah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang telah diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Mahasiswa (BPM) UNMA pada tanggal 13 Februari 2014 membutuhkan kepedulian dan sumbangan pemikiran  dari para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Hal ini disampaikan oleh Hari Santoto selaku Ketua Panitia Kegiatan tersebut.
Ada beberapa hal penting terkait kelembagaan mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang diagendakan untuk dibahas. Antara lain pembuatan AD/ART BPM dan SEMA, laporan pertanggungjawaban Periode 2012-2013, serta pemilihan Ketua BPM, SEMA dan HIMA Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Seluruh lembaga dan organisasi kemahasiswaan yang ada di Fakultas Hukum Universitas Majalengka, seperti BPM, SEMA dan HIMA dengan adanya agenda tersebut berbagai kepentingan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka dalam berorganisasi dan menjalankan kegiatan kelembagaannya dapat terfasilitasi dengan baik dalam rangka mengasah softskill dan mengembangkan diri sebagai bekal saat tiba waktunya meninggalkan bangku perkuliahan.

Acara Musyawarah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka selesai pada pukul 16.30 WIB dengan menghasilkan beberapa keputusan diantaranya penetapan Ketua BPM (Rakisa), Ketua SEMA (Hari Santoto), Ketua HIMA (Agus Yaya Sunarya) yang kemudian dilanjutkan dengan acara pelantikan ketiga lembaga kemahasiswaa tersebut.

PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAJALENGKA ANGKATAN PERTAMA

Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan bentuk kegiatan akademik yang bersifat Intra Kurikuler dengan bobot 3 (tiga) Sistem Kredit Semester (SKS) yang dimaksudkan untuk memberikan tambahan pengalaman terstruktur bagi mahasiswa dalam mengimplementasikan konsep teori yang telah diperoleh di dalam kelas. Praktik Kerja Lapangan merupakan bagian integral dari keseluruhan kurikulum Program Studi Ilmu Hukum Jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Pelaksanaan PKL mencakup observasi, analisis, dan pemecahan masalah, serta kegiatannya dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur yang memadukan konsep teoritis dan empiris dalam rangka membentuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka sebagai calon intelektual yang profesional, mandiri, dan berjiwa hukum.
Atas dasar hal tersebut Fakultas Hukum Universitas Majalengka melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Mahasiswa Peserta PKL  Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang secara resmi dilepas oleh Rektor Universitas Majalengka, Prof. Dr. H. A. Yunus, Drs., M.B.A., M.Si. pada hari Kamis, 16 Januari 2014. Dalam sambutannya  Rektor Universitas Majalengka, memberikan catatan dan kritikan yang sangat membangun terhadap rangkaian pelaksanaan acara pelepasan PKL tersebut. Dalam sambutannya pula Rektor Universitas Majalengka, menyampaikan pesan kepada para mahasiswa untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kegiatan PKL ini untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di lapangan.
Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) Fakultas Hukum Universitas Majalengka dilaksanakan di Pengadilan Negeri selama satu bulan. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) adalah sebanyak 28 orang yang terdiri dari 25 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Selamat melaksanakan PKL.

 
Support : Creating Website | Majalengka Webs | Copyright © 2011. fh-unma - All Rights Reserved
Template Modified by Majalengka Webs Published by Endang Soekirman
Proudly powered by Blogger