Pilihan Posting Hari Ini
print this page
Posting Terbaru
Bagi mahasiswa yang belum mengisi KRS dan Perwalian agar menghubungi bagian akademik, dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran registrasi/heregistrasi di Bank BJB

PENERIMAAN MAHASISWA BARU / PINDAHAN / ALIH PROGRAM TAHUN AKADEMIK 2014/2015

PENERIMAAN MAHASISWA BARU / PINDAHAN / ALIH PROGRAM TAHUN AKADEMIK 2014/2015

URGENSITAS PENYULUHAN HUKUM AGRARIA PADA MASYARAKAT RAWAN KONFLIK PERTANAHAN


Oleh :

Dr. H. Muhamad Rakhmat, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Majalengka)


A. Pendahuluan 
Menurut konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), maka tanah  sebagaimana halnya dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Allah SWT kepada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi. Untuk mengelola secara berdaya guna dan berhasil guna, maka tanah begitu juga bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Tujuan yang dikehendaki oleh UUPA adalah untuk memberikan kepada masyarakat/rakyat adanya hak atas tanah dimana dengan hak dimaksud ia mendapatkan suatu kepastian hukum dan kelayakan hidup. Kondisi yang demikian adalah menginginkan agar setiap orang dapat menikmati haknya secara aman dan cukup dirasakan adil (Abdurrahman, 1978:33).

Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun demikian perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga  membawa perubahan setelah bersenyawanya  dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri (Utsman, 2008:3-4). Perubahan sangat mendasar, kita harus tegakkan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan satu standar aliran positivism tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komunitas hukum modern, mutakhir dan yang mendunia. 

B. Sejarah Singkat Hukum Agraria 

Dalam pengertian yang paling luas, hukum adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang diantara individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplesit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang harus dipenuhi. Ada dua  sisi dalam konsep hukum sebagai interaksi : pertama, adalah keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku. Kedua,  sisi yang bersifat normatif; sentiment akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum (Urger, 2008:63).

Istilah hukum agraria terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan agraria. Sesuai dengan  pengertian sebagai pegangan dari hukum, maka yang dimaksud  hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria (Mertokusumo dan Suyitno,  1988:1).

Hukum agraria sebagai hasil perpaduan dari perkembangan Hukum Perdata dan Hukum Tata Pemerintahan dapat dipandang sebagai satu kelompok hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam, berupa lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit dengan sumber-sumber alam. Di Negara Indonesia mendapat perhatian yang cukup luas dari kalangan ahli hukum terutama sekali dalam rangka memfungsikan pemanfaatan sumber-sumber alam yang terkandung didalamnya guna kepentingan pembangunan.

Hukum agraria yang berlaku di Negara Indonesia adalah berpokok pangkal pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Undang-Undang ini merupakan suatu produk legislatif nasional yang pertama yang merupakan landasan bagi pengaturan soal-soal keagrariaan.

Dasar dari pada Hukum Agraria nasional adalah Hukum Adat. Hal ini secara tegas disebutkan di dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur bersandar pada hukum agama.Tetapi hukum adat yang berlaku menurut UUPA adalah hukum adat yang sudah disaneer (artinya bukan seluruh hukum adat yang ada dan berlaku  ketika UUPA itu diundangkan) dan juga tidak bertendensi menantang azas  unifikasi (Mahfud, 2001: 347).

Ini menandakan bahwa UUPA berkarakter responsif sebab hukum yang memiliki muatan hukum adat dapat dilihat sebagai hukum yang responsif. UUPA lahir justru pada saat konfigurasi politik tampil secara otoriter, yakni dalam era demokrasi terpimpin. Menurut Mahfud (2001: 348), ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang reponsif ini : pertama, materi UUPA itu sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk pada tahun 1948.  Kedua, materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka, Ketiga, materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA. Keempat,  hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hukum publik dan bidang hukum privat.

Notonagoro dalam  Iman Soetiknjo (1990:16-18),  menegaskan bahwa bagi Politik Agraria Nasional sebaiknya mendasarkan diri atas sifat manusia sebagai dwitunggal yaitu sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam hukum agraria, ada hubungan langsung antara Negara dan tanah dengan menggunakan sistem hak privat dan kolektif bersama-sama.

Lebih lanjut Notonagoro merumuskan pedoman bagi hukum agraria berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, dalam arti tidak dapat dihilangkan oleh siapapun.

Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memungkinkan didapatnya pedoman bahwa hubungan manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat privat dan kolektif sebagai dwitunggal.

Sila Persatuan Indonesia,  dapat dirumuskan pedoman bahwa orang Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia. Dengan menghubungkan sila ini dengan sila kemanusiaan Yang Adil dan Beradap yang mempunyai unsur mahkluk sosial yang bersifat internasional, maka orang asingpun dapat diberi kekuasaan atas tanah di Indonesia, sejauh itu dibutuhkan dan tidak merugikan orang Indonesia. Jadi, pemberian tanah pada orang asing itu menurut kepentingan Negara dan bangsa Indonesia.

Menurut Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dapat diambil pedoman bahwa tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kekuasaan sama atas tanah.

Berdasarkan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka tiap-tiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan untuk menerima bagian dari manfaat tanah menurut kepentingan hak hidupnya bagi dirinya sendiri dan keluarganya. 


C. Pengertian Penyuluhan Hukum Agraria 

Pada masyarakat di wilayah  rawan konflik, penyuluhan hukum agraria mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan  Nasional. Dalam berbagai literatur, istilah penyuluhan diartikan sebagai counseling and guidance. Dalam dunia pendidikan penyuluhan, penyuluhan diartikan sebagai suatu usaha para pendidik untuk membantu siswa mengatasi berbagai kesulitan di sekolah atau di luar sekolah. Di bidang pertanian, Totok Mardikanto (1996:48), mendefinisikan penyuluhan sebagai suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, menaikkan pendapatan dan keuntungan, serta perubahan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.

Penyuluhan  sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri :  

Pertama, penyuluhan adalah sistem pendidikan luar sekolah atau di luar sistem sekolah yang  : terencana dan terprogram; dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (“learning by doing”); tidak terikat waktu, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya; disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dan pendidik dapat berasal dari salah satu anggota peserta didik. 

Kedua, penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, sehingga: metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding pendidikan yang sifatnya vertikal atau menggurui; keberhasilannya tidak ditentukan oleh jumlah materi/ informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dan peserta didik; sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun dewasa dalam arti psikologis).

Bertitik tolak dari pengertian penyuluhan tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa setiap kegiatan penyuluhan harus memenuhi unsur-unsur : penyuluhan merupakan suatu proses yang berkesinambungan (continuoes process) dan penyuluhan dilaksanakan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi dan membantu orang lain agar dapat mengatasi kesulitan.

Terdapat 3 komponen pokok di dalam proses penyuluhan hukum agrarian, yakni :  penyuluhan dan sasarannya, informasi hukum dan caranya (alat/media). Berhasil tidaknya suatu program penyuluhan hukum senantiasa tergantung pada keserasian antara ketiga kompenen tersebut (Sorjono Soekanto, 1986 : 83) 

Selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh petugas penyuluh yang telah mempunyai pengetahuan, pengalaman, keahlian serta ketrampilan di bidang agraria. Dengan demikian, hanya petugas penyuluh yang memenuhi kualifikasi tertentu yang dapat ditunjuk dan diangkat sebagai penyuluh.

Sorjono Soekanto (1986 : 83-84)  menegaskan bahwa seorang penyuluh hukum harus mampu “mulut sarira” atau “mawas diri”, hal mana didasarkan pada sikap tindak yang didasarkan pada iktiar hidup logis, etis dan estetis.

Menurut Totok Mardikanto (2003;163-165), untuk menjadi penyuluh yang professional, harus memahami : Pertama, filosofi penyuluhan, untuk mendidik masyarakat/petani agar mampu membantu dirinya sendiri dalam rangka perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Kedua,  etika penyuluhan, untuk selalu jujur, bertanggung jawab, dan bekerja keras dengan keuletan dan kesabaran. Ketiga, profesi penyuluh yang menuntut kualifikasi : (a) terampil menjalin hubungan baik dengan masyarakat penerima manfaat serta mampu menjelaskan materi dan tujuan kegiatannya. (b) memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang materi penyuluhan, (c) bersikap positif tentang materi yang disampaikan, mengasihi dan mencintai masyarakatnya, serta menyukai dan bangga akan profesinya. (d) mau memahami keadaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya, (e) memahami peran dan tanggung jawabnya sebagai penyuluh, (f) mampu megorganisasikan masyarakat dan sumber daya yang ada, (g) selalu berusaha melakukan pengkajian untuk: memahami masalah yang dihadapi masyarakatnya,  menentukan titik-titik pusat kegiatan, mencari alternatif pemecahan masalah dan memilih cara pemecahan masalah yang tepat.

Sesuai uraian diatas, pengertian penyuluhan di bidang hukum agraria perlu dirumuskan agar untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan kerja bagi satuan organisasi penyuluhan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Penulis mendefinisikan penyuluhan hukum agraria adalah suatu sistem penyampaian informasi, konsultasi dan bimbingan masalah pertanahan secara berkesinambungan kepada masyarakat luas untuk  meningkatkan pengetahuan, kesadaran hukum, dan kemauan anggota masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. 

D. Tujuan Penyuluhan Hukum Agraria 

Beberapa perundang-undangan di Indonesia, telah mencantumkan suatu perumusan mengenai tujuan dari penyuluhan hukum. Perumusan tujuan tersebut antara lain di dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 06 – UM. 06. 02 Tahun 1983 dan nomor M. 10 – UM. 06. 02 Tahun 1983, yakni : 1) menjadikan masyarakat paham hukum, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupannya sebagai orang-perorangan; 2) membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara suka rela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 73).

Seperti diuraikan diatas, kegiatan penyuluhan hukum agraria merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional, mengingat konflik tentang pertanahan  sekarang dan di masa depan semakin banyak intensitasnya dan semakin kompleks permasalahannya. Tujuan dilakukan penyuluhan hukum agraria adalah untuk menciptakan tata kelola administrasi pertanahan yang baik (Good Land Governance).

Berbagai konflik agraria yang terjadi di masa lalu,  Mustain (2005: 416-417), dalam penelitian petani di Kalibakar Malang, menemukan bahwa aksi reclaiming oleh petani Kalibakar atas tanah yang dikuasai PTPN XII sesungguhnya terjadi dalam konteks problematika dualisme hukum (legal gaps) yang dalam prosesnya menyebabkan terjadinya cultural conflict. Hasil studi ini memperkuat dugaan bahwa konflik antara rakyat petani dan PTPN XII bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas tanah dengan justifikasi claim yang di dasarkan pada dasar logika hukum masing-masing pihak, hukum negara yang positivistik, legal formal, prosedural dan hukum rakyat yang lokal dan non formal.

Studi yang dilakukan oleh Ipong S Azhar (1999:181-182),  sengketa tanah HGU antara para petani dengan PTP XXVII  di Kecamatan Rambipuji, Jenggawah, dan Mumbulsari, Kabupaten Jember yang akhirnya melahirkan gerakan radikal petani dalam rangka mempertahankan tanah-tanah HGU, berakar pada tidak tercapainya kompromi dalam proses tawar menawar yang dilakukan. PTP XXVII  tetap bertahan dengan kehendaknya untuk mempertahankan penguasaan tanah HGU, sedangkan petani tetap berkehendak agar tanah tersebut dikembalikan kepada mereka dengan dikukuhkan di depan hukum melalui pemberian sertifikat hak milik.

Para petani tetap bertahan pada pendirian bahwa tanah HGU bekas hak erfpacht itu merupakan hak milik mereka. Tanah tersebut merupakan warisan dari orang tua mereka yang diperolehnya dari babat alas (membuka hutan). Sedangkan PTP XXVII menganggap bahwa yang berhak memiliki tanah adalah pihaknya karena didasarkan pada pelaksanaan nasionalisasi yang disahkan oleh undang-undang. Karena kedua belah pihak tetap bertahan dengan pendapat dan kehendaknya masing-masing, maka terjadinya konflik terbuka antara para petani dengan PTP XXVII yang dibantu oleh aparat keamanan menjadi tidak terelakan lagi.

Keadaan yang demikian itu sudah tentu akan mengakibatkan menurunnya  citra Badan Pertanahan Nasional sebagai  institusi yang mengelola hak kepemilikan tanah,  sehingga penyuluhan hukum agraria pada masyarakat rawan konflik menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Penyuluhan hukum agraria harus memberi kesan positif di kalangan masyarakat dan bahwa penyuluhan hukum agraria merupakan perwujudan dari pengabdian masyarakat untuk kepentingan pembangunan nasional.

Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa tujuan penyuluhan hukum agraria adalah untuk : (a) meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya kejelasan hak kepemilikan tanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara tentang agraria, (c)  meningkatkan kemauan masyarakat untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara yang taat pada hukum, (d) mendorong keikutsertaan lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan agar turut serta mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria, (e) memperbaiki dan memelihara citra institusi pemerintah terkait, menuju terciptanya Good land Governance. 


E. Sasaran Penyuluhan Hukum Agraria 

Salah satu prinsip yang dipakai UUPA adalah fungsi sosial yang dilekatkan pada hak atas tanah. Pasal 6 UUPA menegaskan “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dapat diartikan sebagai penyangkalan terhadap hak subyektif yang sepenuh-penuhnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh leon Duguit “tidak ada hak subyektif (subyektif recht), yang ada hanya fungsi sosial.” Menurut Parlindungan (dalam Mahfud, 2001:186),  prinsip fungsi sosial diangkat dari Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945. Dengan prinsip tersebut maka hak milik tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan umum, dan untuk itu pemerintah dapat melakukan intervensi. Menurut penjelasan pasal 6 UUPA, seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang berakibat merugikan kepentingan masyarakat.

Penetapan prinsip bahwa hak atas tanah mempunyai  fungsi sosial mempunyai arti bahwa hukum agraria Indonesia mengambil jalan kompromi antara dua ekstrem paham, yaitu individualism dan komunalisme atau antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama. Dengan kata lain UUPA, sesuai dengan Pancasila, mengambil jalan yang seimbang antara keduanya atau menjadikan keduanya sebagai dwitunggal.

Konskuensi dari prinsip fungsi sosial ini adalah jika ada tanah yang terlantar maka hak atas tanah tersebut kembali kepada “hak menguasai dari negara”. Selain itu, juga berkonskuensi bagi kewenangan negara untuk menentukan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan hak milik, serta mencabut hak atas tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan undang-undang (Mahfud, 2001:186-187).

Sasaran penyuluhan hukum agraria adalah penerima manfaat atau beneficiaries pembangunan agraria, yang terdiri dari individu atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam urusan agraria yang terlibat secara lansung atau tidak langsung dalam kegiatan pembangunan agraria. Termasuk sasaran/penerima manfaat pembangunan agraria adalah masyarakat sekitar perkebunan, masyarakat sekitar hutan, masyarakat sekitar sabuk hijau dan masyarakat lainnya yang terlibat baik langsung atau tidak dalam konflik agraria.

Dikeluhkan oleh Totok Mardikanto (1996 : 68), bahwa pada umumnya kegiatan penyuluhan hanya diarahkan kepada kelompok warga masyarakat lapisan bawah atau kelompok akar rumput (grass root), tetapi kenyataan menunjukkan bahwa  tercapainya tujuan pembangunan justru tidak hanya ditentukan oleh perubahan perilaku dan/ atau partisipasi kelompok masyarakat lapisan bawah yang menjadi pelaku utama pembangunan namun seringkali ditentukan dan didukung oleh keputusan dan/atau kegiatan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Berpijak dari hal tersebut, maka penyuluhan hukum agraria tidak saja ditujukan pada masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi aparat penegak hukum, aparat pejabat terkait dengan agraria serta lembaga-lembaga non pemerintah juga menjadi sasaran penyuluhan hukum agraria ini.

Apabila kita cermati, setiap pembangunan merupakan suatu proses. Membangun tidak mungkin tanpa tanah,  sebaliknya penggunaan tanah tidak mungkin kalau tidak ada pembangunan baik oleh pemerintah maupun perorangan. Disamping itu penduduk selalu bertambah sementara luas tanah tetap, kondisi tersebut menjadikan tanah menjadi suatu barang yang semakin  bernilai tinggi.

Sejalan dengan itu, kebutuhan tanah untuk kepentingan umum semakin tinggi sementara semakin langkanya tanah-tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Konsekuensi logis, negara mengambil tanah-tanah penduduk untuk memenuhi kepentingan umum tersebut.

Pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum tersebut  tidak terlepas dari konflik-konflik  yang selalu menyertainya. Keberadaan  penyuluhan hukum agraria di sini adalah  untuk menghindari konflik yang terjadi sebagai akibat pembebasan-pembebasan tanah oleh negara  untuk kepentingan umum. 

F. Urgensi Penyuluhan Hukum Agraria 

Urgensi tentang bagaimana negara melakukan penyuluhan hukum agraria sangat penting dilakukan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan  yang sarat dengan konflik pertanahan. Bahkan jumlah sengketa tanah tersebut cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk itulah diperlukan upaya nyata dan sungguh-sungguh dalam penyelesaian kasus atau sengketa tanah yang telah ada selama ini.

Sengketa agraria di Indonesia telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, baik dari segi jumlah maupun bobot sengketanya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus) (Setiawan, 2009).

Di wilayah pedesaan, arena konflik tersebut umumnya di dorong oleh kondisi topografi dan potensi alam yang ada. Di wilayah-wilayah pertanian dataran tinggi yang berorientasi pada sistem pertanian komersial dengan produk tanaman keras sedangkan di dataran rendah adanya areal perkebunan komoditi ekspor.

Hasil penelitian  Mittal (2004: 122-123), di India setiap tahunnya lebih dari dua juta petani gurem dan marginal kehilangan tanah atau terasing dan tercerabut dari tanah mereka sendiri. Hal ini disebabkan  lahan tanaman pangan milik mereka diambil alih oleh elit penguasa korporasi-korporasi global. Lahan tersebut kemudian digunakan untuk memproduksi berbagai tanaman yang memiliki daya jual di pasaran.

Sedangkan di wilayah perkotaan,  konflik pertanahan lebih di dominasi oleh penataan tata ruang dan begitu kuatnya peran kapitalisme global terhadap pengelolaan tanah. Misalnya : studi yang ditulis oleh Sudharto P. Hadi (2006:120-123), yakni Kasus Rencana Tapak Pertunjukkan Sinar dan Suara (Multi Media Show) di Borobudur,  dimana disitu terjadi tarik ulur antar berbagai kelompok kepentingan terkait peruntukkan tanah. Setidaknya ada empat kelompok kepentingan terkait dengan rencana pembangunan tersebut, yakni  pihak perusahaan pengelola, pemerintah daerah, Direktorat Linbinjarah dan masyarakat sekitar candi Borobudur.

Kasus lain dipaparkan oleh Salman Drajat (2006), yang terjadi di Meruya, Kepemilikan dokumen ganda dapat terjadi ketika penerbitan girik atau sertifikat tidak konsisten dengan UUPA. Peraturan hukum itu mensyaratkan adanya sertifikat tanah dalam setiap transaksi jual beli tanah. Girik tidak dapat dijadikan bukti jual beli tanah karena merupakan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan. Namun banyak girik atau surat garapan tanah dijadikan alat bukti kepemilikan yang sah. Akibatnya timbul masalah, seperti pada kasus Meruya Selatan. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa. Tetapi buktinya ribuan warga yang kini mendiami lokasi tersebut, mereka bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah, diantaranya berupa sertifikat.

Dengan demikian urgensi penyuluhan hukum sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat perubahan begitu cepat dan tuntutan kebutuhan penduduk untuk kepentingan publik  semakin kompleks yang sudah barang tentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terlepas dari konflik peruntukkan tanah. 


G. Penutup 

Untuk menuju terciptanya Good Land Governance, maka penyuluhan hukum agraria di laksanakan di seluruh Indonesia berdasarkan pedoman kerja yang dituangkan dalam buku panduan, antara lain : (a) Pola Dasar Penyuluhan Hukum Agraria, (b) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Panjang dan (c) Program Kerja Penyuluhan Hukum Agraria Jangka Pendek.

Keberhasilan pelaksanaan penyuluhan hukum agraria tidak terlepas dari dukungan semua pihak. Oleh karena itu penyuluhan hukum agraria dengan strategi yang meliputi : (a) komitmen politis, yaitu keterlibatan dan keterikatan lembaga-lembaga resmi pemerintah  baik departemen maupun non departemen ataupun badan untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria, (b) komitmen masyarakat dan atau lembaga masyarakat, baik secara perorangan atau kelompok untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan hukum agraria.


Daftar Pustaka

Abdurrahman, 1978. Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia. Bandung : Alumni
Drajat, Salman., 2008. Mencuatnya Kasus Sengketa Tanah. http://sibodil.wordpress.com/2008/03/13/mencuatnya-kasus-sengketa-tanah/#more-58 diakses tanggal  5 Februari  2009.
Iman Soetiknjo, 1990. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Ipong S Azhar, 1999. Radikalisme Petani Masa Orde Baru : Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Yogyakarta : yayasan Untuk Indonesia.
Mahfud, 2001. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : PT Pustaka LP3ES.
Mertokusumo dan Suyitno,  1988.  Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria. Jakarta : Universitas Terbuka.
Mittal, A., 2004.  Tanah  Yang Terserobot, Kemiskinan dan Kelaparan. Dalam International Forum on Globalization. “Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan” Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Mustain, 2005. Gerakan Petani di Pedesaan Jawa Timur Pada Era Reformasi : Studi kasus Gerakan Reclaiming Oleh  Petani Atas Tanah yang Dikuasai PTPN XII Kalibakar, Malang Selatan. Surabaya : Universitas Airlangga. Disertasi.
Totok Mardikanto, dkk., 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta : Kerja sama Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Pertanian RI dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Totok Mardikanto, 2003. Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Sukoharjo : PUSPA.
Setiawan, Usep., 2009. Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=237&Itemid=85 Diakses tanggal 17 April 2009.
Soekanto, Soerjono., 1986.  Beberapa Cara dan Mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita.
Sudharto P. Hadi, 2006. Resolusi Konflik Lingkungan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Urger., R.M., 2008. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern.  Bandung : Nusa Media.
Utsman, S., 2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

KEPENGURUSAN BARU BPM, SEMA DAN HIMA FAKULTAS HUKUM UNMA PERIODE 2013-2014

Musyawarah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang telah diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Mahasiswa (BPM) UNMA pada tanggal 13 Februari 2014 membutuhkan kepedulian dan sumbangan pemikiran  dari para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Hal ini disampaikan oleh Hari Santoto selaku Ketua Panitia Kegiatan tersebut.
Ada beberapa hal penting terkait kelembagaan mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang diagendakan untuk dibahas. Antara lain pembuatan AD/ART BPM dan SEMA, laporan pertanggungjawaban Periode 2012-2013, serta pemilihan Ketua BPM, SEMA dan HIMA Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Seluruh lembaga dan organisasi kemahasiswaan yang ada di Fakultas Hukum Universitas Majalengka, seperti BPM, SEMA dan HIMA dengan adanya agenda tersebut berbagai kepentingan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka dalam berorganisasi dan menjalankan kegiatan kelembagaannya dapat terfasilitasi dengan baik dalam rangka mengasah softskill dan mengembangkan diri sebagai bekal saat tiba waktunya meninggalkan bangku perkuliahan.

Acara Musyawarah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka selesai pada pukul 16.30 WIB dengan menghasilkan beberapa keputusan diantaranya penetapan Ketua BPM (Rakisa), Ketua SEMA (Hari Santoto), Ketua HIMA (Agus Yaya Sunarya) yang kemudian dilanjutkan dengan acara pelantikan ketiga lembaga kemahasiswaa tersebut.

PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAJALENGKA ANGKATAN PERTAMA

Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan bentuk kegiatan akademik yang bersifat Intra Kurikuler dengan bobot 3 (tiga) Sistem Kredit Semester (SKS) yang dimaksudkan untuk memberikan tambahan pengalaman terstruktur bagi mahasiswa dalam mengimplementasikan konsep teori yang telah diperoleh di dalam kelas. Praktik Kerja Lapangan merupakan bagian integral dari keseluruhan kurikulum Program Studi Ilmu Hukum Jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Pelaksanaan PKL mencakup observasi, analisis, dan pemecahan masalah, serta kegiatannya dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur yang memadukan konsep teoritis dan empiris dalam rangka membentuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka sebagai calon intelektual yang profesional, mandiri, dan berjiwa hukum.
Atas dasar hal tersebut Fakultas Hukum Universitas Majalengka melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Mahasiswa Peserta PKL  Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang secara resmi dilepas oleh Rektor Universitas Majalengka, Prof. Dr. H. A. Yunus, Drs., M.B.A., M.Si. pada hari Kamis, 16 Januari 2014. Dalam sambutannya  Rektor Universitas Majalengka, memberikan catatan dan kritikan yang sangat membangun terhadap rangkaian pelaksanaan acara pelepasan PKL tersebut. Dalam sambutannya pula Rektor Universitas Majalengka, menyampaikan pesan kepada para mahasiswa untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kegiatan PKL ini untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di lapangan.
Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan (PKL) Fakultas Hukum Universitas Majalengka dilaksanakan di Pengadilan Negeri selama satu bulan. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka yang mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) adalah sebanyak 28 orang yang terdiri dari 25 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Selamat melaksanakan PKL.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNMA SUDAH TERAKREDITASI

Akreditasi merupakan suatu upaya pemerintah untuk menstandardisasi dan penjaminan mutu alumni perguruan tinggi. Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT), dan terdiri dari 2 akreditasi, yaitu akreditasi program studi (prodi) dan akreditasi  perguruan tinggi/institusi.
Meskipun baru berjalan tiga tahun, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka mampu memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh BAN-PT berdasarkan penilaian yang dilakukan sebelumnya pada pelaksanaan kunjungan/visitasi selama 3 hari yaitu tanggal 23 s.d. 25 Juni 2013 yang dihadiri dua orang Asesor BAN PT yaitu Prof. Dr. M. Arifin Hamid, SH., MH. (UNHAS) dan Dr. Surya Anoraga, SH., M.Hum. (UMM).
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka, berdasarkan hasil keputusan rapat pleno Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) pada tanggal 24 Agustus 2013, mendapatkan akreditasi dengan nilai 245 dan mendapatkan peringkat C, sebagaimana berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi Nomor : 174/SK/BAN-PT/Ak-XVI/S/VIII/2013 Tentang : Nilai dan Peringkat Akreditasi Program Studi Pada Program Sarjana.
Nilai dan peringkat akreditasi yang telah didapatkan oleh Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka berlaku selama 5 tahun, dan sebelum 5 tahun harus udah diakreditasi ulang agar tidak kadaluarsa.  Bagaimana jika akreditasi terlanjur kadaluarsa? Akreditasi kadaluarsa artinya nilai akreditasinya sudah tidak berlaku, dan tidak  bisa menerbitkan ijazah!
Saat ramai lowongan CPNS, beberapa alumni prodi tertentu baru merasakan saat ijazahnya ditolak karena berasal dari prodi yang tidak/belum terakreditasi. Artinya jaminan mutu lulusannya masih diragukan dan tidak bisa distandarisasi. Bahkan di lowongan CPNS di Kementerian, mensyaratkan minimal ijazah S1 terakreditasi B yang bisa mendaftar. Oleh karena itu apabila mau kuliah, pilihlah program studi yang minimal terakreditasi C. Bravo Fakultas Hukum UNMA. (endher)

VISITASI AKREDITASI PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAJALENGKA

Fakultas Hukum Universitas Majalengka mendapat kunjungan dari BAN PT dalam rangka akreditasi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Visitasi Akreditasi ini dihadiri dua orang Asesor BAN PT yaitu Prof. Dr. M. Arifin Hamid, SH., MH. (UNHAS) dan Dr. Surya Anoraga, SH., M.Hum. (UMM). Beliau berdua rencananya akan melakukan Kunjungan ke Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka selama 3 hari yaitu tanggal 23 s.d. 25 Juni 2013.
Acara pembukaan dipimpin oleh Drs. H. A. Wahab Sudinata, MM., SH., MH. (Wakil Dekan I) didampingi H. Iman Heruman, SH., MH. (Ketua Prodi Ilmu Hukum) yang kemudian menyambut dengan presentasi kemajuan-kemajuan yang dialami Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka dalam beberapa tahun kebelakang setelah Borang Akreditasi dikirimkan ke BAN PT.
Setelah presentasi dari Ketua Prodi Ilmu Hukum, Pihak BAN PT memulai tanya jawab dan klarifikasi isi borang kepada pembuat Borang. Saat itu dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Majalengka mengikuti visitasi ini dengan hikmat dan serius.
Hasil dari pertemuan hari ini meninggalkan pekerjaan berat kepada Para dosen untuk memperbaiki Borang yang telah dikirim untuk direvisi. Namun semangat para dosen dan staf memang pantas dibanggakan.
Sengenap Dosen, Mahasiswa dan Staf berharap Akreditasi ini mendapatkan nilai yang baik bagi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka. Terlepas dari nilai apakah yang diberikan TIM BAN PT untuk Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Majalengka semuanya sangat bangga atas kekompakkan dan kerjasama para dosen dan Staf dalam mendukung kegiatan penting ini dan berhasil merampungkan revisinya. Mudah-mudahan usaha ini diberkahi oleh Allah SWT. Amin.

PAWAI ALEGORIS RAMAIKAN DIES NATALIS UNMA KE-7

Dalam rangka menyambut dan memeriahkan Dies Natalis ke-7 Universitas Majalengka salah satunya mengadakan pawai alegoris. Pawai alegoris tersebut merupakan awal dari rangkaian kegiatan menyambut dan memeriahkan Dies Natalis ke-7 Universitas Majalengka. 
Segenap keluarga besar Universitas Majalengka yang diikuti kurang lebih sekitar 1000 orang peserta pawai alegoris yang menampilkan berbagai kreasi dari tiap Fakultas di lingkungan Universitas Majalengka. Begitu juga keluarga besar Fakultas Hukum tidak ketinggalan ikut ambil bagian dalam pawai alegoris tersebut. Dalam pawai alegories khususnya Fakultas Hukum diikuti oleh para pejabat struktural, dosen dan mahasiswa yang menampilkan kreasi peserta dengan memakai kostum yang berhubungan dengan dunia hukum diantaranya kostum anggota POLRI, kostum Hakim, kostum narapidana, serta mengikutsertakan kendaraan tahanan.  Pawai berlangsung mengambil start dari Kampus UNMA dengan menyusuri jalur sepanjang Jalan K.H. Abdul Halim, memutar di Alun-alun Majalengka menyusuri Jalan Siti armilah, Jalan Pahlawan dan berakhir kembali di Kampus UNMA. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka Ulang Tahun Universitas Majalengka Ke-7 yang bertepatan dengan Kamis, tanggal 11 April 2013.
Dalam rangkaian kegiatan  menyambut dan memeriahkan Dies Natalis ke-7 Universitas Majalengka tersebut diselenggarakan pula berbagai kegiatan seperti pertandingan futsal antar fakultas, aerobik, jalan santai, pemilihan mojang dan jajaka UNMA dan puncaknya sidang terbuka yang akan dilaksanakan pada tanggal 18 April 2013.

SILATURAHMI DAN SYUKURAN ULANG TAHUN KE-2 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAJALENGKA

Fakultas Hukum Universitas Majalengka genap berusia 2 tahun, pada tanggal  28 Desember 2012. Sebagai bentuk rasa syukur diadakan acara silaturahmi dan syukuran hari ulang tahun yang diselenggarakan dengan penuh kesederhanaan dan khidmat. Acara silaturahmi dan syukuran ulang Tahun ke-2 Fakultas Hukum Universitas Majalengka diselenggarakan di Rumah Bapak H. Z. A. Sastramihardja, S.H., M.H. (Pjs. Dekan Fakultas Hukum). Acara tersebut dihadiri oleh Bapak rektor Universitas Majalengka, Prof. Dr. H. A. Yunus, Drs., S.H., M.B.A., M.Si. beserta Ibu, Bapak Wakil Rektor II, Bapak Dr. H. Wahyudin Nawawi, Drs., S.E., M.M. Hadir pula Bapak H. Reza M. Yunus, S.T., M.T., para Dosen Fakultas Hukum UNMA, serta perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum UNMA.
Acara Silaturahmi dan Syukuran Fakultas Hukum Universitas Majalengka dibuka  dengan sambutan Bapak H. Z. A. Sastramihardja, S.H., M.H. (Pjs. Dekan Fakultas Hukum).
Dalam sambutannya beliau menyampaikan secara singkat kilas balik Fakultas Hukum yang merupakan cikal bakal (embrio) berdirinya Universitas Majalengka yang sudah dirintis sejak tahun 1984 yang merupakan langkah awal merealisasikan berdirinya Yayasan Pembina Pendidikan Majalengka yang akan menjadi Badan Penyelenggara dan menaungi Universitas Majalengka. Pada awalnya Yayasan Pembina Pendidikan Majalengka (YPPM) ini mendirikan tiga buah sekolah tinggi, yaitu : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA-YPPM), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP-YPPM) dan Sekolah Tinggi Hukum (STH-YPPM) Pada tahun 1986, dikarenakan ada permasalahan teknis yang belum terselesaikan, STKIP-YPPM dan STH-YPPM dimergerkan dengan Universitas Sebelas April (UNSAP) Sumedang dan Universitas Swadaya Gunung Djati (UNSWAGATI) Cirebon. Sehingga Sekolah Tinggi yang tetap ada pada saat itu hanya STIA-YPPM dengan Program Studi Administrasi Negara. Beliau juga menyampaikan bahwa meskipun Fakultas Hukum Universitas Majalengka masih relatif muda untuk sebuah institusi, akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi mewujudkan berbagai prestasi. Ditengah persaingan dan tantangan lembaga untuk mencapai kualitas SDM lulusan yang mumpuni sesuai visi dan misi Fakultas Hukum dituntut partisipasi semua pihak dalam mewujudkannya. Alhamdulillah berdasarkan SK Mendiuknas RI Nomor 243/D/O/2010, tanggal 28 Desember 2010, Fakultas Hukum lahir kembali di Universitas Majalengka.
Pada kesempatan yang sama Bapak Rektor Universitas Majalengka, Prof. Dr. H. A. Yunus, Drs., S.H., M.B.A., M.Si. mengajak kepada keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Majalengka untuk terus meningkatkan SDM khususnya kepada mahasiswa lulusan Fakultas Hukum nantinya agar melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, dan diharapkan nantinya dapat ikut membaktikan diri di Fakultas Hukum Universitas Majalengka dimasa yang akan datang.
Pada akhir acara dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh oleh Bapak H. Mahmud Yunus, Drs., M.Pd.I. Semua rangkaian acara berlangsung khidmat dan dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Selamat Ulang Tahun Fakultas Hukum Universitas Majalengka, together we can make it happened!.

PELANTIKAN BPM, SEMA DAN HIMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAJALENGKA PERIODE 2012-2013

Pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Senat Mahasiswa (SEMA) dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Fakultas Hukum Universitas Majalengka Periode 2012-2013 resmi dilantik, pada Jum’at, 19 Oktober 2012. Pelantikan dilakukan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Majalengka, H. Z. A. Sastramihardja, S.H., M.H. di ruang Pasca Sarjana Universitas Majalengka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Majalengka, H. Z. A. Sastramihardja, S.H., M.H. dalam pidato sambutannya mengatakan bahwa dengan dilantiknya Pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Senat Mahasiswa (SEMA) dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Fakultas Hukum Universitas Majalengka Periode 2012-2013 diharapkan mahasiswa dapat menjadikannya sebagai wahana silaturahmi dan wadah komunikasi dan interaksi antar mahasiswa. Dengan masuk psebagai pengurus mahasiswa dapat mengembangkan potensi masing-masing melalui wadah seperti ini, karena setiap orang memiliki potensi.
Beliau juga mengamanatkan kepada mahasiswa Fakultas Hukum UNMA agar lebih mengedepankan etika dalam menyampaikan aspirasi. Beliau sangat prihatin dengan kondisi sekarang yang telah melupakan etika dalam menyampaikan aspirasi seperti ditayangkan di media televisi aksi-aksi anarkhis yang dilakukan oleh oknum-oknum pelajar/mahasiswa.
Pada pidato sambutan lainnya Otong Syuhada, S.H., M.H., yang mewakili Wakil Dekan III Bagian Kemahasiswaan dan Alumni, menyampaikan selamat dan mengharapkan kepada para pengurus yang baru saja dilantik untuk dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab, amanah dan dapat mensejajarkan diri dengan fakultas lain yang lebih besar dan lebih dulu berdiri di unma ini.
Kepercayaan masyarakat akan tumbuh besar tatkala fakultas hukum unma ini mampu menunjukan eksistensi positif, baik menyangkut kafabilitas lulusan fakultas  hukum unma maupun nilai-nilai moral pada saat berada di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya bagi Pengurus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Senat Mahasiswa (SEMA) dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Fakultas Hukum Universitas Majalengka kemarin yang tidak lagi menduduki jabatan, beliau menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas dharma bhaktinya di fakultas hukum universitas majalengka, dan mengharapkan kontribusinya, walaupun tidak lagi duduk dalam kepengurusan sekarang.
Berikut adalah Kepengurusan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM); ARIS ABDUL HARIS (Ketua), RASNO (Wakil Ketua), SA’RONI KUSUMA BHAKTI  (Sekretaris), VIA MEDIANA (Bendahara),  HARI SANTOSO, AL- JAUSHA MALIK, GHALIH GUMILAR (Komisi A/Anggaran), ASEP SAEPUDIN, DENI GUMILAR (Komisi B/Proker), ASEP BUDI BUDIMAN, AGUNG GUMILAR  S.Komisi C/Pengembangan Organisasi dan kerjasma).
Kemudia untuk kepengurusan Senat Mahasiswa (SEMA) antara lain ; JANE SETIAWAN (Ketua), RIZKY RAMDHANI S. (Wakil Ketua), IMAN SUDIRMAN (Sekretaris), NISA AMINATUN HASANAH (Bendahara), AGI RAGIL, ALI RAHMAN (Divisi Pendidikan dan Kaderisasi), KIKI RAHMAN, DESI SRI MELANI, NIDA MARDHIANA (Divisi Kerohanian),  ASEP SOLIHIN, ACE MISBAHUDIN (Divisi Humas), PRAMESTI RAMADHAN, KUKUH (Divisi Logistik).
Selanjutnya Kepengurusan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Fakultas Hukum Universitas Majalengka anta lain : TIRTA WIRAHMAN (Ketua), AGUS YAYA SUNARYA (Wakil Ketua), DIAH ADITYA, FINA FAUZIAH (Sekretaris I dan  II), SAVITRI AFRIANI, EVIE AGUSTINA (Bendahara I   dan II), RAKISA, KAMKAM KAMALUDIN (Sie Kegiatan), SONNY PRATAMA WIJAYA, GUNARDI TEJA SUKMANA (Sie Humas), ASEP YAYAN, ANDI SUSAMTO, JEJEN MUJTAHIDIN ROSID, JOHN PRI MUNTHE, (Sie Keamanan).
Bravo Fakultas Hukum Universitas Majalengka! (endher)

 
Support : Creating Website | Majalengka Webs | Copyright © 2011. fh-unma - All Rights Reserved
Template Modified by Majalengka Webs Published by Endang Soekirman
Proudly powered by Blogger